8 Operator Terbukti Lakukan Kartel
Komisi Pengawas Persiangan Usaha (KPPU) akhirnya menyatakan, delapan operator telekomunikasi di Indonesia terbukti melakukan praktik kartel tarif SMS. Kesimpulan itu diperoleh dari hasil pemeriksaan pendahluan terhadap delapan operator telekomunikasi.
Ketua KPPU Muhammad Iqbal mengatakan, tim KPPU telah memeriksa delapan operator telekomunikasi terkait dugaan praktik kartel tarif SMS minggu lalu. Ke delapan operator telekomunikasi itu adalah PT Excelcomindo Pratama (XL), PT Telkom, PT Telkomsel, PT Indosat, PT Hutchinson CPI, PT Smart Telecom, PT Mobile-8, dan PT Bakrie Telecom. Kedelapan operator itu diperiksa sejak awal November 2007.
"Dalam pemeriksaan pendahuluan sudah ditemukan bukti yang kuat bahwa memang terjadi kartel SMS oleh delapan operator di Indonesia," kata Ketua KPPU M Iqbal di Jakarta, Senin (17/12/2007).
Menurut dia, bukti yang ditemukan KPPU tersebut cukup sebagai rekomendasi untuk melakukan pemeriksaan lanjutan terhadap delapan operator tersebut. “Pemanggilan lanjutan terhadap saksi-saksi dan terlapor (operator telekomunikasi, red) akan dilakukan pada awal Januari 2008. Ini untuk mendapatkan bukti-bukti yang lebih kuat,” katanya.
Iqbal menjelaskan, kartel SMS yang dilakukan oleh pengusaha tersebut melanggar Undang-Undang No 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat pasal 5, yakni mengenai pengaturan harga.
“Dari pemeriksaan pendahuluan, tim menemukan ada perjanjian tertulis antaroperator telekomunikasi untuk menetapkan tarif SMS di Indonesia sekitar Rp 250-350 per SMS,” jelas dia.
Perjanjian tersebut, kata dia, amat merugikan konsumen. “Menurut BRTI, tarif SMS di Indonesia seharusnya hanya Rp 75. Tapi yang berlaku lebih tinggi dari itu,” katanya. BRTI adalah Badan Regulator Telekomunikasi Indonesia yang dipimpin oleh Dirjen Postel Depkominfo Basuki Yusuf Iskandar.
Namun, apa yang disampaikan KPPU tersebut adalah hasil pemeriksaan pendahuluan. Setelah itu, KPPU membentuk Majelis Komisi untuk melakukan pemeriksaan lanjutan sebelum memvonis apakah benar delapan operator itu bersalah melakukan kartel SMS atau tidak. Pemeriksaan lanjutan itu, membutuhkan waktu paling cepat 30 hari.
Biaya Pokok SMS Cuma Rp 75
Anggota BRTI Heru Sutadi mengatakan, pihaknya tidak pernah melaporkan secara resmi kepada KPPU tentang dugaan praktik kartel dalam pengenaan tarif SMS itu. Namun, dia mengakui, BRTI mengkritisi tarif SMS yang mencapai Rp 250-350 itu lewat media massa.
“Jadi, kalau KPPU menilai apa yang disampaikan BRTI di media massa itu sebagai indikasi awal, ya. Setelah itu terserah mereka. KPPU kan memang memiliki kewenangan untuk itu,” kata Heru, Selasa (11/12/2007).
Menurut Heru, tarif SMS yang diterapkan beberapa operator telekomunikasi seluler saat ini terlalu tinggi. Padahal biaya interkoneksi itu Rp 38 atau untuk dua pihak (operator penerima dan operator pengirim SMS) menjadi Rp 76.
“Jadi, kalau biaya pokoknya cuma Rp 75 per SMS, berarti tarif SMS yang berlaku sekarang ini sekitar 300-400% dari biaya pokok. Banyak sekali keuntungan yang diraup operator,” kata Heru.
Meski tarif telepon seluler jauh di atas formula tarif yang diberikan BRTI, menurut anggota BRTI Kamilov Sagala, pihaknya tidak memiliki kuasa untuk menindak operator yang memberi tarif terlampau mahal kepada pelanggan. “Ini bukan wialayah kami lagi. Para operator memang berhak menetapkan tarif SMS, kami hanya memberikan platform harga saja kepada mereka,” ujar Kamilov, Rabu (12/12).
Namun, dia berharap pihak operator dapat mempertimbangkan untuk menurunkan biaya tarif SMS masing-masing operator. Hal ini mengingat, jurang yang sangat lebar dari biaya pokok yang diberikan BRTI dengan biaya yang dibebankan operator. “Margin yang diambil operator sangat besar, bisa 2-3 kali lipat dari tarif dasar. Sudah sewajarnya mereka untuk menurunkan tarif tersebut,” kata dia.
Dirjen Postel Depkominfo Basuki Yusuf Iskandar mengatakan, berdasarkan perhitungan sebuah konsultan, biaya layanan SMS originasi sebesar Rp 38, dan terminasi Rp 38 sehingga biaya dasar SMS sebesar Rp 76. Dengan biaya dasar itu, tarif SMS yang kompetitif seharusnya sebesar Rp114. Bahkan, berdasarkan perhitungan BRTI, tarif SMS seharusnya Rp 52.
Menurut Basuki, biaya dasar SMS sebesar Rp 76 tersebut merupakan biaya jaringan (network cost) yang berlaku. Ini yang dijadikan salah satu dasar penetapan tarif pungut atau tarif ritel. "Sesuai perkembangan teknologi, maka network cost cenderung turun. Dan pada 2008 besarannya sudah turun menjadi Rp 52," kata Basuki.
Sesungguhnya, ujar Basuki, dalam memberikan layanan, operator sudah masuk pada persaingan sehat. Itu terlihat dari tarif yang diberlakukan operator yang mengacu pada mekanisme pasar. Dalam penetapan tarif SMS, operator juga memasukkan komponen biaya selain biaya jaringan (network), seperti biaya aktivitas, inovasi produk dan plus margin keuntungan.
"Kami tidak bisa menentukan berapa besaran atau kisaran tarif SMS. Itu kami serahkan ke masing-masing operator. Kalau mereka tidak efisien sehingga tarif SMS lebih tinggi dari operator lain, biar konsumen yang memilih," ujarnya.
Ia mengakui, pemerintah tidak mengatur tarif SMS dalam regulasi tersendiri, karena awalnya SMS dianggap sebagai fasilitas tambahan. Sekarang SMS telah menjadi sumber pendapatan utama operator dengan kontribusi hingga 50%. Oleh karena itu, pihaknya sudah membentuk tim untuk memnggodok regulasi penetapan tarif SMS interkoneksi dan diharapkan rampung tahun ini dalam bentuk Peraturan Menteri (Permen).
Operator Akui Ada Kesepakatan
Seorang direktur salah satu operator telekomunikasi di Indonesia mengakui, dulu memang pernah ada kesepakatan atau perjanjian di antara operator untuk tidak saling menurunkan tarif SMS yang terlalu signifikan. Dia tak bersedia menyebut namanya. Inilah yang menjadi bukti kuat bagi KPPU untuk menyatakan delapan operator telepon nirkabel terbuktir melakukan praktik kartel tarif SMS.
Direktur operator telekomunikasi di Indonesia yang tidak bersedia disebutkan jati dirinya itu mengatakan, kesepakatan antaroperator telekomunikasi untuk tidak menurunkan tarif SMS itu dimaksudkan agar tidak mengakibatkan kebanjiran trafik SMS yang bisa menyebabkan terganggunya jaringan. Ini bisa mengakibatkan jaringan SMS yang menggunakan signal link itu menjadi down.
“Jaringan SMS itu berbeda dengan voice. Kalau trafik suara sudah memenuhi jaringan, otomatis telepon (suara) tidak masuk alias diblok dengan sendirinya. Sedangkan SMS, meski jaringan sudah penuh, SMS masih antre menunggu giliran. Inilah yang bisa menyebabkan jaringan down,” kata dia, Selasa (18/12/2007).
Namun, kata dia, sesungguhnya kesepakatan tersebut dibuat atas dasar untuk menjaga jaringan masing-masing operator. “Kalau salah satu operator A menurunkan tarif SMS, lalu pelanggan dari operator A tersebut rama-ramai mengirimkan SMS ke pelanggan di operator B, ini bisa berbahaya bagi jaringan operator B. Itulah tujuan sebenarnya dari kesepakatan antaroperator itu, dan kini kesepakatan itu sudah tidak berlaku lagi,” kata dia.
Tentang alasan operator bahwa penurunan tarif SMS akan menyebabkan jaringan BTS operator jebol, menurut Heru, hal itu sebagai alasan mengada-ada. “Itukan alasan bisnis. Kalau mereka mau memberikan tarif yang benar, mereka seharusnya mengantisipasi agar jaringan tidak jebol. Itukan, secara teknologi bisa dicegah,” kata Heru.
Menurut Heru, layanan SMS tidak memiliki jejak rekam sebagaimana layanan suara sehingga tidak membebani jaringan. “Hal seperti ini harusnya diketahui operator. Memangnya kami tidak memiliki pengetahuan tentang teknologi telekomunikasi. Justru sehari-hari kami hidup berdampingan dengan teknologi tadi,” ujar dia.
Heru juga tidak percaya dengan alasan operator bahwa operator juga memberikan promosi tarif, baik telepon (percakapan) maupun SMS. “Tarif promosi berbeda dengan tarif yang berlaku. Tarif promosi itu hanya berlaku, misalnya ke sesama operator dan pada jam-jam tertentu, dan lain-lain,” kata Heru.
Sementara itu, Ketua BRTI yang juga Dirjen Postel Basuki Yusuf Iskandar lebih memilih diam. “Biarlah KPPU bekerja. Itu kan merupakan otoritas kewenangan KPPU. Pemerintah siap apabila diminta KPPU untuk memberikan keterangan. BRTI dalam hal ini juga sudah dipanggil. Kami selama ini bekerja sama dengan baik dengan KPPU,” ujar Basuki.
Karena Tak Ada Regulasi
Meski ada direktur salah satu operator telekomunikasi seluler mengakui adanya kesepakatan tertulis, Direktur Marketing PT Indosat Tbk Guntur S Siboro tetap menolak, pihaknya terlibat dalam kesepakatan itu. “Silakan saja tanya saja sama dia. Indosat tidak pernah membuat kesepakatan soal tarif SMS,” kata dia.
Guntur mengatakan, kalau ada kesepakatan antaroperator tentang tarif SMS, kenapa tarif SMS yang diberlakukan tidak sama. “Di Indosat, misalnya, tarif SMS off net (antaroperator) untuk Mentari Rp 350 dan IM3 Rp 88. Di Telkomsel, tarif SMS off net untuk Simpati Rp 350, tapi untuk Kartu AS cuma Rp 299,” kata Guntur.
Namun, Dirut Indosat Johnny Swandy Sjam mengatakan, selama ini tidak ada regulasi yang mengatur tentang tarif SMS. Namun kalau pemerintah mau membuat aturan tentang hal itu silakan saja, dan para operator akan mengikuti apa pun peraturan pemerintah.
"SMS adalah value added service. Inti permasalahannya adalah belum ada regulasi yang mengatur masalah tarif SMS tersebut. Jadi, selama ini kami, antar operator, mengatur sendiri. Kalau pemerintah mau mengatur dalam bentuk regulasi, pasti kami dan operator lain akan mengikuti aturan yang ada," jelas Johnny, Selasa (18/12).
Menurut Johnny, tarif SMS berbeda dengan VoIP yang sudah ada regulasinya, khususnya terkait untuk biaya interkonneksi.
Meski mengakui bahwa karena tidak ada regulasi pemerintah mengenai tarif SMS sehingga operator mengaturnya sendiri, Johnny menyangkal tuduhan KPPU tentang dugaan kartel tarif SMS itu.
Direktur PT Mobile-8 Telecom Tbk Merza Fachys juga menolak bukti yang ditemukan KPPU bahwa delapan operator, termasuk PT Mobile-8, telah membuat kesepakatan untuk menjaga tarif SMS antaroperator (off-net) tidak turun-turun, yakni Rp 299-350. “Semua operator memang punya perjanjian kerja sama untuk membolehkan masing-masing operator melewati traffic miliknya, namun tidak ada yang membahas mengenai kartel,” ujar dia.
Mengenai tarif SMS antaroperator yag tidak pernah berubah, menurut Mirza, itu juga tidak sepenuhnya benar. Ia juga menolak temuan BRTI yang mengatakan, tarif dasar SMS sebenarnya Rp 75. Angka itu cuma didasarkan pada best practice tiga operator seluler terbesar saat ini, yakni Telkomsel, Indosat, dan XL.
“Wajar kalau Rp 75 itu untuk tiga operator besar itu, karena tiap hari masuk ratusan juta SMS. Sedangkan kami cuma empat juta sehari, sehingga tidak benar dengan angka BRTI itu,” kata dia.
Menurut Mirza, SMS adalah bisnis operator untuk mencari keuntungan. “Jadi, kalau bisa mahal, kenapa mesti murah. Ini semua kembali kepada strategi marketing masing-masing. Kalau dengan Rp 350 laku, kenapa mesti turun. Namun akan menjadi bebreda apabila pemimpin pasar menurunkan tarif,” kata Mirza.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar