Rabu, 18 Juni 2008

Kartel SMS: (bagian 2)

Konsumen Dirugikan Rp 2,8 Triliun



Setelah tertunda berkali-kali, Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) akhirnya mengumumkan juga putusannya atas pemeriksaan lanjutan kasus kartel SMS pada Rabu, 18 Juni 2008. Pengumumannya dilakukan Dedie S Martadisastra, ketua Majelis Komisi dari Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) yang menangani kasus kartel SMS itu.

Enam operator telekomunikasi, PT Telkomsel, PT Telkom Tbk, PT Excelcomindo Pratama Tbk (EP), dan PT Bakrie Telecom Tbk, PT Smart Telecom dan PT Mobile 8 Telecom Tbk terbukti melakukan kartel dengan menetapkan tarif SMS antara Rp 250 dan Rp 350. Tiga operator, PT Indosat Tbk, PT Hutchison CP Telecommunication dan PT Nantrindo Telepon Seluler bebas dari tuduhan kartel dan bebas dari sanksi.

Dedie menyebutkan, total kerugian masyarakat konsumen akibat kartel itu mencapai Rp 2,8 triliun, tapi keenam operator itu hanya didenda maksimum Rp 25 miliar. Namun, dari enam operator tersebut, hanya lima yang dikenakan denda. Sedangkan Smart tidak dikenai denda dengan alasan ikut belakangan. Denda dari keenam operator yang berjumlah Rp 77 miliar itu akan langsung disetorkan ke kas negara.

“KPPU telah melakukan pemeriksaan lanjutan atas kasus itu dan terbukti ada enam operator yang melakukan kartel. Mereka melanggar undang-undang praktik monopoli dan persaingan usaha tidak sehat,” ujar Didie saat membacakan putusan tersebut.

Dedie menjelaskan, Telkomsel dan PT EP diganjar denda sebesar Rp 25 miliar, Telkom (Rp 18 miliar), Mobile-8 (Rp 5 miliar), dan Bakrie Telecom (Rp 4 miliar). Perbedaan nilai denda tersebut didasarkan pada inisiatif pembuatan perjanjian kerja sama (PKS) untuk penetapan tarif (fix pricing), serta sikap kooperatif selama pemeriksaan.

Telkomsel disebutkan sebagai pihak yang berinisiatif sehingga tercipta PKS yang menjadi kartel itu, dan tidak kooperatif selama pemeriksaan. PT EP juga inisiator dan aktif mendisiplinkan operator yang tergabung dalam jaringan kartel itu. Pun demikian dengan Telkom. Sedangkan Mobile 8 dan Bakrie Telecom dianggap berada pada posisi tawar yang lemah sehingga terpaksa mengikuti ‘aturan’ dari operator incumbent (PT Telkomsel, PT EP, dan PT Telkom).

Besar denda, kata Dedie, dihitung berdasarkan hasil pemeriksaan ulang KPPU dari besar kerugian konsumen yang diakibatkan sejak perjanjian kartel tersebut dibuat, yakni pada 2004-2007. Besar kerugian itu mencapai Rp 2,8 triliun. Yakni, Rincian kerugian itu adalah dari Telkomsel sebesar Rp 2,123 triliun, PT EP Rp 346 miliar, Mobile-8 Rp 52,3 miliar, Telkom Rp 173,3 miliar, Bakrie Telecom Rp 62,9 miliar, Smart Telecom Rp 0,1 miliar.

Meski begitu, KPPU tidak menetapkan besar ganti rugi keenam operator itu kepada konsumen. Majelis komisi hanya menghitung hal-hal yang memberatkan dan meringankan dari masing-masing operator yang melakukan kartel tarif SMS.


Indosat Bebas


Dedie menjelaskan, sebelum memutuskan perkara ini, KPPU sudah memeriksa PT Indsat Tbk, PT Hutchison CP Telecommunication dan PT Nantrindo Telepon Seluler. Tapi sampai pemeriksaan ulang, ketiga operator tersebut terbukti tidak melakukan kerjasama kartel.

“Pernah sekali waktu Bakrie Telecom menurunkan tarif SMS, tapi langsung ditegur oleh XL sehingga tarif SMS Bakrie kembali dinaikkan sesuai kesepakatan yang berada di kisaran Rp 250–300 ke lintas operator (off net). Kalau Smart tidak kami denda karena meski mendatangani PKS, tapi dia tidak mengikuti aturan kartel tersebut,” kata Dedie.


Tertunda Dua Bulan


Putusan KPPU atas pemeriksaan lanjutan tersebut sebelumnya akan diumumkan pada 26 Maret 2008. Namun, demi pemeriksaan dan pembuktian, Majelis Komisi KPPU menundanya menjadi 26 April 2008, dan kemudian ditunda lagi menjadi awal Mei. Pada akhirnya, vonis KPPU itu diumumkan pada 18 Juni 2008.

Ketua Tim Pemeriksa Deddie Martadisastera mengatakan, saat ini pihaknya masih menunggu hasil klarifikasi beberapa operator sehingga belum bisa diputuskan dalam waktu dekat ini. Tertundanya putusan KPPU itu karena pihaknya masih menunggu sejumlah klarifikasi dari operator.

Klarifikasi itu adalah mengenai bukti yang diperoleh KPPU tentang kesepakatan tertulis antara operator telekomunikasi seluler lama (incumbent) dan operator baru dalam penentuan tarif SMS antara Rp 250-350. Kesepakatan itu dilakukan demi menjaga jaringan telekomunikasi agar tidak terganggu.

Operator incumbent itu adalah Telkomsel, XL, dan Indosat. Sedangkan operator baru itu adalah Bakrie Telecom (Esia), Hutchison CP Telecom (3), Mobile-8, Smart (Fren), dan Sampoerna Telekomunikasi Indonesia (Ceria).

Perjanjian kerja sama (PKS) tertulis itu dibuat pada 2003-2006. Pada 2006, PKS itu dibatalkan lewat adendum. Adendum itu dibuat setelah ada peringatan dari Badan Regulator Telekomunikasi Indonesia (BRTI). “Meski ada adendum dan PKS sudah dibatalkan, KPPU tetap melihat hal itu sebagai kartel,” kata Dedie.

Dirut PT Excelcomindo Pratama Tbk Hasnul Suhaimi dan Direktur Utama PT Smart Telecom Indonesia (Smart) Sutikno Wijaya telah mengakui adanya kesepakatan itu. “Kami sudah dapat pengakuan dari operator incumbent dan operator baru tentang perjanjian kerja sama (PKS) tarif SMS,” kata Dedie.

Putusan KPPU itu berlaku selama 14 hari sejak diputuskan hari ini hingga menjadi keputusan tetap. Operator yang divonis itu bisa mengajukan banding ke Pengadilan Negeri.


Operator Tolak Dituduh Kartel


Sementara itu, Kuasa Hukum Telkomsel Ignatius Andy dan kuasa hukum PT EP Stevanus Arianto menolak vonis kartel dari KPPU itu. Namun, mereka belum mengambil sikap karena harus melaporkan hasil putusan itu kepada kliennya masing-masing.

“Kami belum melakukan tindakan apapun, baik menerima putusan atau mengajukan banding karena masih ada waktu 14 hari,” jelas Ignatius Andy usai pembacaan putusan sidang KPPU itu.

Direktur Bakrie Telecom Rakhmat Djunaidi saat itu juga langsung mengatakan tidak menerima vonis KPPU itu. Penolakan atas putusan KPPU itu karena semua keberatan dan pertimbangan yang telah diajukan Bakrie Telecom tidak dipertimbangan secara tepat.

“Kami belum menerima salinan putusan KPPU. Jadi, kami belum tahu apa yang jadi bahan pertimbangan KPPU dalam mengambil keputusan. Terus terang, kami kaget. Kami akan banding,” kata Rakhmat. Ia mengaku, sejak dulu mendobrak dan ingin menurunkan tarif, baik SMS maupun percakapan.

Sementara itu, Direktur dan Chief Corporate Affair PT Mobile-8 Telecom Merza Fachys menilai, putusan KPPU itu telah mencoreng muka operator telekomunikasi Indonesia. Apalagi vonis diikuti dengan pernyataan bahwa kartel SMS itu telah merugikan masyarakat hingga Rp 2,8 triliun.

Merza yang juga ketua Asosiasi Telepon Seluler Indonesia (ATSI) itu tidak mempermasalahkan besaran denda yang berkisar antara Rp 4-25 miliar. Persoalannya justru pada putusan KPPU yang telah memberi citra buruk bagi industri telekomunikasi nasional.

“Kalau dibilang denda itu berat, ya memang berat. Tapi uang bisa dicari sedangkan reputasi sulit dicari. Oleh karena itu, putusan KPPU ini seperti pembunuhan karakter, khususnya bagi operator. Padahal industri telekomunikasi selama ini sudah memberi kontribusi dan manfaat besar bagi negara,” ujar Merza sehari setelah putusan KPPU itu.

Menurut Merza, selama ini pemerintah belum mengatur tarif SMS dan pengaturannya diserahkan kepada masing-masing operator. “Secara bisnis, pola interkoneksi SMS tidak berdasarkan sistem bagi hasil, tapi sender keep all (SKA). Artinya yang untung adalah operator pengirim SMS, sedangkan operator penerima tidak mendapat benefit apa-apa,” kata dia.


Efek Jera buat Operator


Sementara itu, Dirjen Postel Depkominfo Basuki Yusuf Iskandar mengatakan, pemerintah menilai vonis KPPU terhadap enam operator itu sebagai efek jera dan pembelajaran bagi industri telekomunikasi nasional agar bersaing secara sehat. Selebihnya ia tak mau bicara, karena putusan KPPU itu belum inkrah (tetap/final).

"Keputusan KPPU harus dihormati. Silakan operator mengajukan banding dan harus mengikuti proses hukum yang berlaku," kata Basuki.

Anggota BRTI Heru Sutadi dan pengurus harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Tulus Abadi berharap, putusan KPPU itu bisa menjadi pelajaran berharga bagi para operator telekomunikasi untuk bersaing secara sehat. Hal itu sebagai upaya membuka tabir bahwa beberapa operator telah menetapkan tarif SMS yang merugikan konsumen.

Sedangkan Tulus mengatakan, YLKI siap memfasilitasi masyarakat penguna ponsel untuk melakukan class action terhadap operator. “Kalau memang masyarakat mau meng-class action, kami siap mendampinginya,” kata Tulus.

Menurut Tulus, class action tidak bisa dilakukan oleh lembaga, termasuk YLKI. Yang harus melakukannya adalah masyarakat pengguna langsung dan ditujukan kepada operator tertentu. “Kalau pun YLKI terlibat karena atas permintaan masyarakat,” kata dia.

Lepas dari jera atau tidak, operator yang divonis melakukan kartel itu akhirnya mengajukan banding. Dirut PT Telkom Tbk Rinaldi Firmansyah menyatakan, pihaknya (PT Telkom dan anak perusahannya, PT Telkomsel) akan mengajukan banding atas putusan KPPU itu. "Kami belum terima salinan putusan KPPU. Setelah 14 hari sejak salinannya kami terima, kami akan ajukan banding," kata Rinaldi.

Dirut PT Telkomsel Kiskenda Suriahardja juga mempertimbangkan untuk banding atas putusan KPPU itu. ”Telkomsel selalu menghormati setiap keputusan yang berlaku. Namun, karena vonis KPPU itu belum mempunyai kekuatan hukum tetap, kami mempertimbangkan untuk melakukan upaya hukum,” kata Kiskenda.

Menurut dia, upaya banding itu dilakukan untuk menemukan kejelasan dan kepastian hukum. Sebab, apa yang dilakukan Telkomsel selama ini bukan kartel atau price fixing. Kiskenda menduga, KPPU lupa, apa yang Telkomsel tawarkan bukan tarif, tapi pricing. ”Itu (tarif dan pricing) jelas berbeda," kata dia.



Kerugian Akibat Kartel Tarif SMS dan Besar Denda


Operator

Kerugian

Denda

PT Telkomsel

Rp 2,123 triliun

Rp 25 miliar

PT Excelcomindo Pratama

Rp 346 miliar

Rp 25 miliar

PT Telkom

Rp 173,3 miliar

Rp 18 miliar

PT Bakrie Telecom

Rp 62,9 miliar

Rp 4 miliar

PT Mobile-8 Telecom

Rp 52,3 miliar

Rp 5 miliar

PT Smart Telecom

Rp 0,1 miliar

Rp 0

Perhitungan Kerugian Konsumen (Rp miliar)


Tahun

Telkomsel

XL

Mobile-8

Telkom

Bakrie

Smart

TOTAL

2004

311,8

53,4

2,6

12,2

5,8

-

358,8

2005

446,3

62,4

10,2

30,6

7,8

-

557,4

2006

615,5

93,7

15,9

59,3

17,5

-

801,9

2007

819,4

136,4

23,6

71,2

31,8

0,1

1.082,5

TOTAL

2.193,1

346,0

52,3

173,3

62,9

0,1

2.827,7


Tim Pemeriksa KPPU memperoleh fakta-fakta:


  1. Pada 1994-2004 ada tiga operator seluler dan tarif SMS hanya satu, yakni Rp 350. Tidak ada kartel karena struktur pasar adalah oligopoli
  2. Pada 2004-2007, tarif SMS antaroperator berkisar Rp 250-350. Namun, Tim Pemeriksa menemukan beberapa perjanjian kerja sama (PKS) tertulis tentang harga SMS, yang salah satu klausulanya adalah penetapan tarif SMS yang tidak boleh lebih rendah dari Rp 250. PKS itu Telkomsel dengan Telkom (2002), Bakrie Telecom (2004), Smart Telecom (2007), dan Natrindo Telepon Seluler (2001). Selain itu ada PKS PT Excelcomindo Pratama dengan Hutchison CP Telecom (2005), Bakrie Telecom (2004), Mobile-8 (2003), Smart Telecom (2006), dan Natrindo Telepon Seluler (2001).
  3. Pada Juni 2007, BRTI dan ATSI bertemu dan ATSI mengeluarkan surat untuk meminta seluruh anggotanya agar membatalkan kesepakatan harga SMS yang kemudian ditindaklanjuti para operator.
  4. Pada 2007 sampai April 2008, harga SMS tidak berubah sehingga Tim Pemeriksa menilai, kartel harga SMS masih efektif.


Sumber: KPPU


รจ Dasar perhitungan nilai kerugian itu adalah dari selisih penerimaan harga kartel dengan penerimaan harga kompetitif SMS antaroperator.

Lanjut ah...