MENKOMINFO: 2011, SELURUH INSTANSI PEMERINTAH PAKAI IGOS
JAKARTA - Depkominfo dan Kementerian Ristek bertekad, sampai akhir 2010 tak ada lagi instansi pemerintah yang menggunakan peranti lunak ilegal. Kini ada seratusan pemerintah daerah (pemda) yang mengunakan peranti lunak berbasis open source yang gratis.
Demikian dikatakan Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo) Tifatul Sembiring, Asisten Deputi IT Development Kementrian Negara Ristek Kemal Prihatman, Dirjen Aplikasi dan Telematika (Aptel) Depkominfo Ashwin Sasongko, dan Direktur Direktorat General of ICT Applications Depkominfo Lolly Amalia Abdulah pada acara Global Conference Open Source (GCOS), di Jakarta, Senin (26/10).
Acara bertaraf internasional ini dihadiri puluhan praktisi open source dari berbagai negara, seperti Malaysia, Thailand, Filipina, Singapura, Brasil, India, Jerman, dan Austria.
“Kami sudah berkomitmen sejak 2005 untuk menggunakan open source. Di antaranya lewat Surat Edaran Menkominfo yang disusul Surat Edaran Menteri Negara PAN (Pemberdayaan Aparatur Negara) pada Maret 2009,” kata Tifatul.
Gerakan penggunaan open source dengan produk nasional bernama Indonesia Goes to Open Source (IGOS) telah dicanangkan oleh lima kementrian. Yakni, Kementerian Ristek, Depkominfo, Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM), Kementerian Negara PAN dan Departemen Pendidikan Nasional. Deklarasi itu dikumandangkan pada 30 Juni 2004.
Pada tahun ini, Kementerian PAN menerbitkan Surat Edaran No 1/2009 yang mewajibkan seluruh instansi pemerintah dari pusat hingga daerah harus bermigrasi ke sistem terbuka ini. Dalam Surat Edaran itu disebutkan, perpindahan ke open source itu seluruhnya akan terealisasi pada Desember 2011.
Meski demikian, Tifatul menyadari, tak mudah 'memaksa' departemen dan pemda menggunakan open source. Oleh karena itu, pelaksanaannya dilakukan bertahap dan diharapkan seluruh instansi pemerintah telah bermigrasi ke open source pada 2011.
"Secara bertahap kami akan meminta semua instansi pemerintah menggunakan open source. Kami yakin implementasi ini akan terealisasi sesuai rencana, pada Desember 2011," kata Tifatul.
Hingga saat ini, Tifatul belum mendapatkan laporan mengenai jumlah departemen dan pemda yang sudah memakai open source. “Ada beberapa departemen yang sudah mengadopsi sistem operasi open source ini, seperti Kementerian Ristek, Depkominfo, Depkum HAM, dan Kementerian PAN," kata dia.
Menurut Lolly Amalia Abdulah, kini sudah ada sekitar 100 lebih pemda yang mengajukan permohonan untuk menggunakan open source. Bahkan, menurut Ashwin Sasongko, ada 501 pemda yang akan beralih ke open source. Namun, kendala yang dihadapi saat ini masih seputar infrastruktur dan kemampuan SDM. Akan tetapi, baik Lolly maupun Ashwin, tidak mengetahui berapa jumlah pastinya.
"Bersama Kementerian Ristek kami mengadakan pelatihan SDM-nya. Untuk saat ini kami bantu dulu mengoperasikan software untuk perkantoran, karena memang itu yang lebih banyak digunakan," jelas Lolly. Pemerintah menganggarkan sekitar Rp 3,5 miliar untuk memfasilitasi instansi yang akan bermigrasi ke open source.
Kemal Prihatman mempertegas, sekarang sudah lebih dari 100 pemda yang minta bermigrasi ke open source. Sebagian pemda sudah dalam proses training dan penganggaran. Pemda-pemda tersebut antara lain adalah Pekanbaru, Aceh, Gorontalo, dan Bengkulu.
Menurut Kemal, instansi pemerintah memang harus menggunakan software berbasis open source karena lebih efisien dan hemat anggaran. “Secara teoritis, penggunaan open source dapat menghemat sampai 40% dibanding penggunaan peranti lunak berbayar atau proprietary software. Di Ristek, kenyataannya, penggunaan open source bisa menghemat sampai 60%,” kata Kemal.
Ashwin mengatakan, walaupun software berplatform open source tersedia secara gratis, pengembang aplikasi tetap akan mendapatkan keuntungan dari jasa training, buku, sampai maintenance. “Ini seperti beli air dalam kemasan. Airnya gratis, tapi pembeli harus membayar botol dan biaya distribusinya hingga membeli dispenser,” kata Ashwin.
Sementara itu, dalam diskusi yang berlangsung di GCOS, Executive Director at the Center for Internet and Society (CIS) India Sunil Abraham menegaskan, pemerintah harus berani memberikan arahan kebijakan dan standardisasi dalam penerapan open source di lingkungan pemerintahan. “Cara itu telah dilakukan di India,” kata dia.
Sedangkan praktisi teknologi informasi (TI) Onno W Purbo mengatakan, masyarakat Indonesia harus mengeluarkan uang US$ 500 untuk membayar software dan aplikasi standar yang berbayar. Bila penjualan komputer (PC) setahun sebanyak 2,5 juta unit, dan sekitar 70 ribu di antaranya menggunakan software dan aplikasi standar yang berbayar, berarti dana yang harus dibelanjakan untuk peranti lunak proprietary sebesar US$ 35 juta atau Rp 350 miliar per tahun.
“Dengan kondisi seperti ini, open source dapat menjadi solusi untuk mengatasi belanja TI yang besar itu,” jelas Onno.
Menteri Ristek Suharna Surapranata yang diwakili deputinya, Engkos Koswara, menambahkan, sistem operasi open source menawarkan banyak keuntungan. "Dari sisi keamanan, misalnya, open source jauh lebih aman ketimbang software berlisensi yang biasanya rentan serangan," kata Engkos.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar