JAKARTA- Depkominfo berniat mengubah penetapan biaya hak penggunaan (BHP) frekuensi bagi operator seluler dan fixed wireless access (FWA) dari pola Izin Stasiun Radio (ISR) menjadi lebar pita frekuensi (Pita). Namun, operator kecil minta masa transisi 10 tahun.
Demikian dikatakan Kepala Pusat Informasi dan Humas Departemen Komunikasi dan Informatika (Depkominfo) Gatot S Dewa Broto dalam siaran pers di Jakarta, Minggu (18/10).
Oleh karena itu, lanjut Gatot, Depkominfo mengundang masyarakat mendiskusikan White Paper mengenai penerapan BHP Pita itu. White paper ini merupakan draf kebijakan pemerintah untuk diterapkan di kemudian hari.
“Penyesuaian BHP ISR menjadi BHP Pita yang diatur dalam White Paper ini ditujukan bagi para penyelenggara telekomunikasi bergerak seluler pada frekuensi 850/900/1800 MHz dan FWA 850 MHz, kecuali penyelenggara bergerak seluler dengan alokasi pita frekuensi 450 MHz,” kata Gatot.
Dengan demikian, kebijakan baru itu akan mengena pada hampir seluruh operator telekomunikasi, kecuali PT Sampoerna Telecom yang beroperasi pada frekuensi 450 MHz. Sedangkan operator GSM (PT Telkomsel, PT Indosat, PT Excelcomindo Pratama, PT Natrindo Telepon Seluler, dan PT Hutchison CP Telecom) mendapat jatah frekuensi pada 900 MHz – 1800 MHz, operator CDMA (PT Mobile-8 Telecom, dan PT Smart Telecom) mendapat jatah pada frekuensi 800 MHz, dan FWA (Telkom-Flexi, Indosat-StarOne dan Bakrie Telecom) pada frekuensi 850 MHz.
Depkominfo, kata Gatot, juga berharap melalui White Paper ini, penggunaan spektrum frekuensi dapat lebih efektif dan efisien sehingga mendorong percepatan dan pemerataan pembangunan. Kebijakan baru ini juga diharapkan menghasilkan formula tarif BHP yang sederhana, netral terhadap perubahan dan penerapan teknologi pada pita yang sama serta tidak memerlukan pengawasan dan pengendalian yang kompleks.
“Ujung-ujungnya White Paper ini mengoptimalkan PNBP (penerimaan negara bukan pajak) bagi penggunaan spektrum frekuensi eksklusif, seperti penggunaan frekuensi oleh operator selular danFWA yang selama ini memberikan kontribusi cukup besar bagi PNBP,” kata Gatot.
Transisi 10 Tahun
Presdir PT Mobile-8 Telecom Merza Fachys mengatakan, masalah ini sebenarnya sudah dibahas sejak lama antara regulator (Depkominfo dan BRTI) dan operator telekomunikasi. Yakni, ketika ia masih menjadi ketua umum Asosiasi Telepon Seluler Indonesia (ATSI).
“Waktu itu, operator setuju dengan kebijakan itu (BHP Pita), asal ada masa transisi selama 10 tahun,” kata Merza.
Masa transisi itu, lanjut Merza, untuk memberi kesempatan kepada operator yang kecil-kecil (di luar Telkomsel, Indosat dan XL) untuk tumbuh. Penetapan BHP Pita bukan didasarkan pada jumlah BTS yang dibangun, tapi berdasar lebar pita yang diberikan pemerintah.
“Nah, kalau operator besar (seperti Telkomsel, Indosat dan XL, red) mendapat jatah frekuensi yang sama dengan operator kecil (seperti Hutchison, Bakrie Telecom, Smart Telecom atau Mobile-8), misalnya, sama-sama 20 MHz. Lalu, BHP yang dibebankan sama besar, ini jelas tidak fair buat operator kecil. Operator kecil bisa nangis dibuatnya,” kata Merza.
Oleh karena itu, lanjut Merza, operator yang kecil-kecil itu mengajukan syarat berupa masa transisi itu. “Masa transisi itu bukan berarti, kebijakan itu diberlakukan 10 tahun lagi. Kebijakan itu bisa saja langsung diberlakukan sekarang, tapi pada tahun pertama operator besar dibebankan BHP, misalnya Rp 1.000 per MHz dan operator kecil Rp 100. Hanya saja, BHP operator kecil itu tiap tahun naik 100 sehingga pada 10 tahun mendatang sama-sama Rp 1.000 per mHz,” kata Merza.
Sementara itu, Sekjen ATSI Dian Siswarini, yang juga Direktur Jaringan PT Excelcomindo Pratama mendukung ajakan Depkominfo untuk membahas White Paper tentang penetapan BHP frekuensi itu. “Penetapan BHP pola Pita ini lebih baik ketimbang pola ISR yang kini diberlakukan. Perhitungan BHP pola Pita ini juga lebih mudah, karena tak perlu menghitung berapa BTS yang dibangun,” kata dia.
Penetapan BHP pola ISR itu, kata Dian, rumit, karena setiap operator menambah BTS, beban BHP juga bertambah, kecuali BTS yang tidak berijin. “Sedangkan BHP pola Pita itu kami bayar BHP berdasarkan pita frekuensi. Makin efisien menggunakan pita, makin murah bayar BHP-nya,” kata Dian.
Oleh karena itu, lanjut Dian, bila pemerintah jadi menetapkan BHP frekuensi berdasarkan Pita ini, seluruh operator, baik GSM maupun CDMA akan mendukung kebijakan ini. “Saya yakin, seluruh anggota ATSI akan mendukung pembahasan BHP Pita ini,” kata dia.
BHP ISR Vs Pita
Berdasarkan Peraturan Pemerintah No 28/2005 tentang Tarif Atas Jenis PNBP yang Berlaku pada Depkominfo. penetapan BHP pola ISR adalah didasarkan pada jumlah base transceiver station (BTS) yang dibangun operator telekomunikasi. Artinya, makin banyak BTS yang dibangun operator telekomuniksai, makin tinggi pungutan BHP yang harus dibayar kepada pemerintah.
Dengan pola ISR ini, operator yang membangun BTS lebih banyak akan membahar BHP lebih tinggi. Secara teknologi, operator GSM akan mendapat beban BHP lebih besar ketimbang operator CDMA . Itu terjadi karena dalam lebar pita yang sama, teknologi CDMA bisa melayani lebih banyak percakapan dibanding GSM. Artinya, untuk melayani jumlah pelanggan yang sama, jumlah BTS yang dibutuhkan operator CDMA lebih sedikit dibanding GSM. Ujung-ujungnya, hal ini akan memengaruhi struktur biaya, yang juga struktur tarif.
Sedangkan penetapan BHP frekuensi berdasarkan Pita (bandwidth) tidak didasarkan pada jumlah BTS yang dibangun, tapi pada besaran spektrum frekuensi yang diberikan. Kebijakan baru (BHP Pita) ini jelas menguntungkan operator besar (Telkomsel, Indosat dan XL), tapi ‘buntung’ buat operator kecil.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar