Kamis, 02 September 2010

Pembajakan Software di Indonesia Tertinggi di Asia

BERDASARKAN hasil survei yang dilakukan lembaga Political and Economic Risk Consultancy (PERC) yang berbasis di Hong Kong, Indonesia ditempatkan sebagai negara yang memiliki catatan terburuk dalam melindungi hak kekayaan intelektual (HKI) di Asia, sedangkan Singapura yang terbaik.

Meskipun Indonesia telah meloloskan undang-undang baru yang akan meningkatkan perlindungan kekayaan intelektual, tetapi aturan tersebut tidak ditegakkan secara efektif sehingga tingkat pembajakan di Indonesia masih termasuk yang tertinggi di dunia.

Untuk itu, Business Software Alliance (BSA) dan Asosiasi Konsultan Hak Kekayaan Intelektual Indonesia mendesak Tim Nasional Penanggulangan Pelanggaran HKI (TimNas PP HKI) agar dapat meningkatkan penegakan hukum atas pelanggaran HKI, sekaligus meningkatkan edukasi dan sosialisasi kepada masyarakat agar lebih menghargai HKI.

Demikian rangkuman pendapat dari Kepala Perwakilan BSA Indonesia, Donny Alamsyah Sheyoputra dan Ketua AKHKI, Justisiari Perdana Kusumah yang dihubungi terpisah di Jakarta, Selasa (31/8).

Seperti diketahui, survei PERC yang dirilis 25 Agustus 2010 menunjukkan, Indonesia diberi skor nilai terburuk 8,5 dari maksimum 10 poin dibandingkan dengan 11 negara Asia lain. Survei ini dilakukan terhadap 1.285 manajer asing yang diselenggarakan antara Juni dan pertengahan Agustus. Nol adalah skor yang terbaik.

Lebih banyak ekonomi maju bernasib lebih baik, dengan Singapura memimpin daftar dengan skor nilai 1,5, diikuti oleh Jepang (2,1), Hong Kong (2,8), Taiwan (3,8) dan Korea Selatan (4,1). Di ujung lain dari skala, Vietnam kedua terburuk di 8,4, Tiongkok mencetak 7,9, Filipina 6,84, India 6,5, Thailand 6,17 dan Malaysia 5,8.

Peringkat mencerminkan sebagian besar penelitian oleh industri perangkat lunak global, yang adalah khawatir dengan ketersediaan mudah film bajakan dan software di kota-kota Asia meskipun pemerintah berjanji untuk mengambil tindakan keras.

Dari negara-negara Asia berkembang, Vietnam, Indonesia dan Filipina semua dinilai buruk tidak hanya untuk tingkat rendah perlindungan HKI mereka, tetapi juga untuk kriteria fisik seperti infrastruktur, ketidakefisienan birokrasi dan keterbatasan tenaga kerja.

Justisiari Perdana Kusumah mengatakan, selama dua hingga tiga tahun terakhir sebenarnya Indonesia telah banyak memperoleh kemajuan dalam penegakan hukum dan perlindungan HKI. Karena itu, dia tidak sepenuhnya menyakini hasil dari survei tersebut.

“Metodologi survei harus jelas dan transparan, itu juga harus dijelaskan oleh PERC,” katanya.

Menurut dia, tidak mudah untuk melakukan survei di negara seluas Indonesia. Ada kemungkinan, lanjut dia, penanganan kasus HKI yang tercatat dalam survei itu hanya ada di Jakarta, sedangkan kota-kota lainnya tidak sempat tercatat karena lemahnya data base HKI. Selain itu, dalam UU HKI setiap pelanggaran HKI dapat dilakukan tindakan hukum setelah ada aduan dari masyarakat.

Meski demikian, hasil survei ini tetap harus dijadikan sebagai sarana motivasi khususnya untuk TimNas PP HKI untuk bekerja lebih giat untuk memperbaiki citra Indonesia yang terlanjur tercoreng dalam kasus pelanggaran HKI.

Pendapat senada diutarakan Donny Alamsyah Sheyoputra bahwa dalam dua atau tiga tahun terakhir Indonesia termasuk giat melakukan penegakan hukum, namun hasilnya belum terlalu terlihat karena wilayah Indonesia yang sangat luas dan penegakan hukum masih terfokus pada wilayah tertentu saja.

Selain itu, masih mudah ditemukan tempat-tempat yang secara terbuka dan terang-terangan menjual atau mengedarkan produk-produk bajakan yang tentunya melanggar hak cipta, misalnya software, games, film, musik, buku dll. “Selama produk-produk bajakan dan palsu tersebut masih mudah ditemukan di Indonesia, selalu akan muncul pandangan negatif dari orang asing atau negara lain yang merendahkan kualitas perlindungan HKI di Indonesia meskipun dalam beberapa hal pandangan ini tidak sepenuhnya benar,” tegasnya.

Penegakan Hukum Lemah

Donny juga menilai, penegakan hukum masih memiliki kelemahan sehingga kualitas penegakan hukum itu sendiri masih harus dibenahi dan tidak sekedar berfokus pada kuantitas atau jumlah penegakan hukum. Namun secara keseluruhan tingginya pembajakan atau pemalsuan juga disebabkan karena kurangnya kesadaran masyarakat untuk menghargai HKI.

“Ini termasuk pandangan negatif yang seolah-olah menganggap perlindungan HKI hanya menguntungkan negara maju, padahal pandangan yang sempit ini tidak benar. Banyak perusahaan lokal, misalnya pengembang software lokal, yang justru dirugikan karena pembajakan sangat tinggi,” katanya.

Dia juga mengaku prihatin, dalam kasus software bajakan, masih banyak yang beranggapan bahwa membeli software berlisensi hanya menambah ongkos biaya produksi, padahal sebenarnya software berlisensi adalah asset perusahaan yang harus dikelola dengan baik seperti jika perusahaan membeli mobil, mesin produksi, atau properti.

“Mereka lupa bahwa pemakaian software bajakan justru menimbulkan kerugian dan cost yang sebenarnya tidak perlu terjadi dan menghambat usaha mereka,” kata Donny.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar