Selasa, 11 Mei 2010

Pemerintah Sulit Ambil Frekuensi Indovision

MASYARAKAT Telematika Indonesia (Mastel) meragukan keberanian pemerintah menertibkan spektrum frekuensi pita lebar untuk kebutuhan teknologi generasi keempat (4G) atau Long Term Evolution (LTE). Soalnya, spektrum 2,5 GHz yang diperuntukkan bagi LTE itu sudah dipakai untuk satelit milik PT Mediacitra Indostar (MCI) atau Indovision.

Demikian dikatakan Sekjen Mastel Mas Wigrantoro Roes Setyadi di Jakarta, akhir pekan lalu.

“Pemerintah harus bisa membuktikan bahwa frekuensi yang digunakan perusahaan tersebut (MCI) benar-benar dimanfaatkan untuk kepentingan publik,” kata Sekjen Mastel yang akrab disapa Mas Wig itu.

Dia mengatakan, jika PT MCI transparan terhadap penggunaan frekuensi 2,5 GHz untuk layanan publik secara optimal dan mereka membayar biaya hak penggunaan (BHP) frekuensi sesuai ketentuan yang berlaku, kedudukan satelit Indostar pada frekuensi tersebut dapat mereka pertahankan.

“Tapi, kalau ternyata tidak digunakan secara optimal, berarti mereka (MCI) telah menyia-nyiakan fasilitas publik. Dan, oleh karena itu pemerintah harus berani mengambil kembali frekuensi tersebut,” kata Mas Wig.

Adapun rencana Kemenkominfo untuk memigrasi frekuensi yang telah mereka berikan kepada MCI adalah untuk memberikan slot baru untuk penggunaan LTE. Teknologi ini kabarnya akan segera diimplementasi oleh tiga operator telekomunikasi seluler besar dengan total hampir 150 juta pelanggan di Indonesia. Ketiga operator itu adalah Telkomsel, Indosat dan XL.

Sementara itu, Kepala Pusat Informasi danHumas Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) Gatot S Dewa Broto menyatakan, pihaknya serius melakukan penataan ulang frekuensi yang saat ini digunakan oleh berbagai keperluan publik. Namun, pemerintah mesti hati-hati dalam menertibkan frekuensi.

“Untuk menertibkan, kami harus melakukan pengkajian dan konsultasi publik terlebih dahulu,” jelas dia.

Hasil dari uji publik tersebut, kata Gatot, akan disusun menjadi draf regulasi. Setelah itu, pemerintah dapat menentukan aturan yang berlaku serta skema yang akan digunakan. “Skemanya bisa melalui tender atau beauty contest seperti yang sudah pernah kami lakukan,” kata dia.

Untuk itu, pemerintah menegaskan, penataan ulang frekuensi ini bukan untuk merugikan pihak mana pun. Tetapi, pemerintah mempertimbangkan asas manfaatnya untuk kepentingan masyarakat.

“Kemenkominfo tentunya tidak akan ketinggalan dan terus menyesuaikan regulasi dengan kebutuhan masyarakat. Tapi, kami harus hati-hati untuk menata ulang,” tegas Gatot.

Dia mencontohkan pada saat tender broadband wireless access (BWA), pemerintah sudah mengingatkan kepada para peserta tender bahwa frekuensi 2,3 GHz sudah ada penguninya. Tetapi, pemerintah tidak lantas menggusur pengguna lama frekuensi itu.

“Di sini kami mengacu pada segmentasi penggunaan frekuensi dan melihat slot yang tidak terpakai untuk dioptimalkan,” papar Gatot.

Pemerintah Masih Diatur

Melihat fenomena permasalahan frekuensi di Indonesia, Mastel mengkritisi pemerintah yang tidak tegas terhadap teknologi. Pemerintah sebagai institusi yang memayungi kepentingan negara harus dapat mengendalikan teknologi yang akan terus berkembang.

“Kami belum memiliki peta jalan untuk menentukan langkah dan penerapan teknologi dalam jangka panjang,” ujar Mas Wig.

Implikasinya, Indonesia masih dikendalikan oleh para produsen teknologi yang memasarkan produknya di sini. Para produsen teknologi itu umumnya dari luar negeri (asing).

Dia mengatakan, pemerintah harus menentukan penggunaan teknologi berdasarkan asas kemanfaatan. Khususnya, untuk layanan jaringan yang menggunakan sumber daya terbatas berupa spektrum.

Mastel yang menjadi mitra Komisi I DPR dalam membahas RUU Konvergensi ini telah mengajukan masukan kepada kemenkominfo untuk membuat sebuah formula dalam bentuk roadmap teknologi dan informasi (TI) di Indonesia.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar