Jumat, 20 November 2009

Kanal BWA Masih ‘Kotor’

JAKARTA – Para pemenang tender broadband wireless access (BWA) siap membayar lisensi BWA. Hanya saja, kanal frekuensi yang dijanjikan pemerintah ternyata masih ‘kotor’ alias masih dipakai pihak lain. Namun, Depkominfo berharap hal itu tak dijadikan alasan untuk menunda pembayaran.

Demikian rangkuman pendapat yang dihimpun dari Direktur Keuangan PT Internux Hiroshi Arifudin, Presdir PT Jasnita Telekomindo Sammy Pangerapan, Direktur PT Wireless Telecom Universal (WTU) Teddy Purwadi dan Kepala Pusat Informasi dan Humas Depkominfo Gatot S Dewa Broto. Mereka dihubungi secara terpisah di Jakarta, Rabu (18/11) dan Kamis (19/11).

“Kami siap membayar lisensi BWA, baik up front fee maupun annual fee-nya. Tapi kami minta waktu hingga Januari 2010,” kata Hiroshi.

Pemenang tender BWA mengaku terkejut bahwa pemerintah akan menarik kembali lisensi BWA dari para pemenang tender, bila tidak bisa membayar lisensi pada 20 November 2009. Padahal dalam surat pemberitahuan pembayaran (SPP) atau invoice yang dikirimkan pemerintah dan dalam perjanjiannya tak ada pernyataan bahwa lisensi bisa ditarik kembali.

“Di surat perjanjiannya tak ada penarikan atau pembatalan lisensi BWA. Yang ada, keterlambatan pembayaran, pemenang tender BWA akan dikenai denda sebesar 2% per bulan,” kata Hiroshi.

Seperti diketahui, dari 30 lisensi BWA pada frekuensi 2,3 GHz yang ditawarkan pemerintah lewat tender, ada delapan perusahaan yang menjadi pemenang. Yakni, PT Berca Hardaya Perkasa memenangi 14 lisensi, PT Telkom (5), PT Konsorsium Wimax Indonesia (3), PT First Media (2), Konsorsium PT Comtronic System (3) , PT Indosat Mega Media (1), PT Internux (1), dan PT Jasnita Telekomundo (1).

Izin prinsip BWA telah diserahkan dan para pemenang tender BWA diwajibkan melunasi kewajibannya berupa up front fee plus biaya hak penggunaan (BHP) frekuensi pada 20 November 2009. Besar up front fee adalah harga penawaran tertinggi pada tiap-tiap zona, sedangkan BHP frekuensi adalah harga penawaran tertinggi kedua pada tiap zona.

PT Internux, misalnya, yang memenangi zona Jadebotabek dan Banten, harus melunasi izin prinsip itu sebesar Rp 231,234 miliar yang terdiri atas up front fee sebesar Rp 121,201 miliar dan BHP frekuensi Rp 110,033 miliar.

Selain PT Internux, PT Jasnita Telekomindo yang memenangi zona Sulawesi bagian Utara, juga minta tenggang waktu untuk melunasi kewajibannya. Kewajiban Jasnita adalah sebesar Rp 384 juta. “Kami selalu mengikuti aturan pemerintah. Hanya saja, untuk pembayaran, kami minta waktu hingga akhir Desember ini,” kata Sammy.

Selain minta penundaan pembayaran, operator BWA juga minta kepada pemerintah agar segera membersihkan frekuensi yang telah menjadi hak mereka. “Kalau zona yang kami punya sudah bersih, tapi zona lain memang masih kotor. Frekuensi yang masih kotor itu disampaikan Depkominfo dalam dokumen tender. Yang masih kotor itu ada di Jakarta, Bandung, Yogyakarta, Balikpapan, Aceh, Medan, Jawa Timur, dan daerah lain,” kata Sammy.

Sammy mengatakan, ketika tender dibuka, Depkominfo berjanji membersihkan kanal frekuensi itu karena penggunanya legal, bukan ilegal. Frekuensi 2,3 GHz yang di Jakarta, misalnya digunakan oleh pemirintah, sedangkan di Bandung digunakan pemerintah daerah.

“Saya kira, setelah izin diberikan kepada para pemenang tender BWA, wajar kalau mereka menuntut agar frekuensi itu dibersihkan dulu. Kalau penggunanya legal, membersihkannya mudah. Tapi yang susah kalau penggunanya ilegal,” kata dia.

Sementara itu, Teddy Purwadi mengatakan, bersih atau tidaknya frekuensi itu bukan urusan pemenang tender BWA. “Itu urusan pemerintah. Urusan saya, cari uang dan lantas bayar,” kata Teddy.

Bagi PT WTU, yang tak lain adalah konsorsium Asosiasi Penyedia Jasa Internet Indonesia (APJII), kata Teddy, mencari modal adalah pekerjaan berat. Pihaknya tidak ingin dibebani urusan frekuensi yang masih kotor. Pokoknya, PT WTU ingin segera mengoperasikan frekuensi yang menjadi haknya untuk menyediakan akses internet terjangkau bagi masyarakat.

Sementara itu, Gatot S Dewa Broto mengatakan, ancaman penarikan kembali lisensi BWA memang tidak ada dalam perjanjian. Tapi bukan berarti pemerintah tidak bisa menarik lisensi itu kembali, terutama kalau tidak ada respons dari para pemenang tender BWA. “Setelah ada respons dari pemenang tender untuk membayar, meski mereka tidak bisa bayar pada 20 November, kami tidak akan tarik lisensi itu. Mereka hanya kena finalti,” kata Gatot.

Kalau terlambat membayar, kata Gatot, para pemegang lisensi BWA akan dikenai denda sebesar 2% per bulan dari nilai yang harus dibayar. “Hanya saja, keterlambatan itu tidak bisa terus-menerus tanpa ada batas waktu. Kami beri waktu tiga bulan setelah tanggal 20 November, mereka harus melunasinya. Kalau tidak, lisensi BWA benar-benar akan kami tarik lagi,” kata Gatot.

Sementara itu, mengenai kanal frekuensi yang belum bersih, Gatot bisa menerima hal itu sebagai masukan. “Kami berterima kasih. Ini masukan buat kami. Kami akan teruskan hal ini ke Balai Monitoring Frekuensi Ditjen Postel Depkominfo. Namun, jangan jadikan ini sebagai alasan untuk menunda pembayaran,” kata Gatot.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar