Kamis, 19 November 2009

WAWANCARA DIRUT PT XL AXIATA TBK HASNUL SUHAIMI (1)

Layanan Data Masih Jadi Cost

Tahun 2009 tinggal satu bulan lagi. Operator telekomunikasi di Tanah Air masih berjibaku berebut pelanggan, tapi pertumbuhannya tak sebesar tahun-tahun sebelumnya. Perang tarif agak mereda, meski masih operator yang ‘galak’ menyentil kompetitor. Layanan suara dan SMS masih mendominasi, sedangkan layanan data mulai ‘bersuara’ lantang. Bagaimana di tahun-tahun mendatang?

Saat ini pengguna mobile broadband di Tanah Air sekitar dua juta, yang berasal dari Telkomsel 1,3 juta, Indosat 500 ribu, Excelcomindo Pratama 100 ribu, dan sisanya dari operator lain. Pada 2013, pelanggan data mobile broadband bisa mencapai 45 juta. Bahkan, menurut lembaga survei Pyramid Research, pada 2014 pengguna 3G sekitar 126,9 juta atau 46% dari populasi Indonesia.

Kehadiran teknologi high speed packet acces (HSPA)+ diperkirakan makin mendongkrak pelanggan mobile broadband. Tapi, apa benar?

Wartawan Investor Daily, Rizagana, mewawancara Hasnul Suhaimi, dirut PT XL Axiata Tbk (XL), yang pekan lalu masih bernama PT Excelcomindo Pratama Tbk. Pria kelahiran Bukitinggi, 23 April 1957 ini sudah malang-melintang di industri telekomunikasi seluler Indonesia. Ia ‘lahir’ di Indosat dan besar di Indosat, tapi sukses membesarkan XL. Orang Minang ini satu-satunya yang pernah menjadi direktur pada tiga operator seluler terbesar Indonesia, Indosat, Telkomsel dan XL.

Ayah dua orang anak ini pernah menjadi direktur Niaga PT Indosel (1997-1998), direktur Niaga PT Telkomsel (1998-2000), direktur utama PT IM3 (2001-2002), direktur PT Indosat (2002-2005), dirut PT Indosat (2005-2006), dan dirut PT XL Axiata Tbk (2006-sekarang).

Berikut petikan wawancara tersebut yang dituangkan dalam dua tulisan.

Bagaimana Anda melihat peluang bisnis telekomunikasi di Indonesia ke depan?

Saya kira, tiga tahun ke depan, voice akan tetap grow, meski tak terlalu tinggi lagi. Kalau beberapa tahun lalu, pertumbuhan voice bisa 100%, lalu turun menjadi 60%, 40%, dan tinggal 10% pada tahun lalu. Dalam tiga tahun ke depan, saya prediksi, pertumbuhan revenue dari voice mungkin tinggal 5-7% saja. SMS juga turun 5% karena ‘kemakan’ chatting, Yahoo Messenger (YM), BlackBerry Messanger (BBM), email, Twitter dan Facebook.

Hanya saja masalahnya adalah apakah kenaikan voice dan penurunan SMS itu masih menguntungkan perusahaan. Memang, kelihatannya masih ada pertumbuhan revenue. Tapi pas-pasan bila dibandingkan inflasi tahunan Indonesia yang berkisar 5-10%.

Pas-pasan atau malah rugi buat perusahaan?

Ya. Saya kira pas-pasan. Oleh karena itu, kami harus mengantisipasi ini. Antisipasinya tak ada jalan lain, kecuali menghadirkan layanan bernilai tambah atau value added services (VAS).

Orang bilang, sekarang era layanan data, dan operator sekarang jorjoran di data?

Ya. Ada yang bilang, pendapatan dari layanan data akan naik 30-40% dalam tiga tahun ke depan. Sekarang, kontribusi data terhadap pendapatan secara keseluruhan masih kecil, sekitar 5-6%. Dengan pertumbuhan 30-40%, kontribusi layanan data pada pendapatan bisa meningkat menjadi 10%. Namun, cost untuk investasi kapasitas dan revenue-nya tidak seimbang. Tidak seperti layanan SMS dan voice.

Maksud Anda?

Sekarang, misalnya, XL menawarkan program mengirim delapan SMS dengan biaya Rp 1.200 dan mendapat 300 SMS per hari secara gratis. Artinya, kalau pelanggan mengambil semua haknya, biayanya cuma Rp 4 per SMS. Dalam praktiknya, tidak semua pelanggan mengambil hak 300 SMS itu. Ada yang cuma mengirim 30-50 SMS per hari. Artinya, tarifnya Rp 24-40 per SMS. Dengan tarif segitu, kami masih untung.

Begitu juga dengan voice. XL, misalnya, menawarkan tarif Rp 1.000 untuk menelepon selama satu jam. Faktanya tak semua pelanggan menelepon selama satu jam dalam sekali call. Habit orang, rata-rata menelepon adalah 5-10 menit, meski ada yang cuma dua menit, dan ada juga yang setengah jam lebih. Katakanlah, rata-ratanya 12,5 menit, itu berarti tarifnya Rp 80 per menit. Ini masih untung buat kami.

Sedangkan pada layanan data, kalau kita tawarkan Rp 1 per KB, pelanggan akan ambil hak yang 1 KB itu. Ini habit. Selain itu, secara teknologi juga lebih mahal. Teknologi 3G itu jauh lebih mahal dibanding 2G. Jadi, cost untuk layanan data itu terlalu tinggi, tapi revenue-nya terlalu rendah.

Revenue layanan data kecil itu karena pelanggan yang masih sedikit atau soal daya beli masyarakat?

Ini bukan karena jumlah pelanggannya masih sedikit. Jumlah pelanggan data sebenarnya bisa banyak, tapi kapasitas yang bisa kita tampung tidak bisa banyak. Pelanggan data XL untuk yang unlimited sekarang cuma 30 ribuan. Ini yang unlimited, sedangkan pelanggan data XL secara umum sekarang mencapai 5-6 juta. Jaringan 3G kami ada di mana-mana, tapi kami tidak bisa jual karena takut kapasitasnya tidak cukup. Kami tak mau tiba-tiba ada pemotongan kapasitas (bandwidth) di tengah jalan.

Tapi operator lain mulai jorjoran menyediakan layanan data dan operator lain mengambil jatah tambahan frekuensi 3G?

Saya kira belum jorjoran. XL tidak. Lihat saja pelanggan data unlimited mereka (operator lain) itu. Apalah artinya pelanggan data yang 500 ribu dibanding 70 juta? Jadi, menurut saya, belum jorjoran benar. XL belum mau jorjoran di data karena kami belum temukan cara untuk menurunkan cost sehingga seimbang antara cost dan revenue-nya.

Di mana letak cost yang mahal itu?

Investasi yang besar itu tidak hanya di perangkat jaringan data, tapi juga di frekuensi. Biaya hak penggunaan (BHP) frekuensi 3G lebih mahal dari 2G. Sampai Rp 160 miliar per tahun. Selain itu investasi di perangkatnya juga besar, sangat besar. Jadi, feeling saya, siapa yang sanggup membangun kapasitas yang besar dan dengan harga murah, dia akan menjadi pemenang dalam tiga tahun ke depan. Namun, apakah pertumbuhan layanan data yang 30-40% dan kontribusinya terhadap pendapatan yang naik menjadi 10%, berarti ada kontribusi layanan data terhadap profit? Ini masih tanda tanya besar.

Lalu, apa yang harus dilakukan operator untuk menyongsong era data dalam 3-5 tahun ke depan agar menguntungkan?

Berusaha mencari teknologi atau sistem yang bisa memproduksi kapasitas data yang besar. IP based bisa menyediakan kapasitas besar, tapi investasinya mahal. Beberapa operator mengklaim sudah IP based, sebenarnya belum seluruhnya. XL juga sudah mulai, tapi masih hybrid, belum totally IP based. Investasinya terlalu mahal. (bersambung)

Pelanggan 3G pada 2014 di Negara Asia

Jumlah Penetrasi

Pelanggan 3G

(juta) (% Penduduk)

Indonesia 126,9 46

Tiongkok 461,3 42

India 188,0 22

Malaysia 34,9 84

Singapura 6,8 80

Filipina 43,7 39

Thailand 35,5 45

Vietnam 51,2 42

Sumber: Pyramid Research

Tidak ada komentar:

Posting Komentar