Selasa, 29 Desember 2009

Menyiapkan Cetak Biru Industri Telekomunikasi Indonesia

Ketika Kartu As belum lahir. Seseorang dari Oke Comm mendatangi manajemen Telkomsel dan mengajak kerja sama.

“Saya mau membuat brand baru. Kartu As namanya, tapi saya ingin memakai jaringan Anda (Telkomsel). Saya akan memproduksi dan memasarkan Kartu As ke seluruh Indonesia. Kita bagi hasil.”

“Silakan! Ayo!” Manajemen Telkomsel menanggapi antusias.

Oke Comm mulai memproduksi dan memasarkan starter pack Kartu As dengan nomor sendiri berawalan 0852xxx. Oke Comm sukses, Kartu As laku. Pelanggannya mencapai 24 juta.

Pemerintah bingung campur marah, dan memanggil Oke Comm.

“Anda ilegal! Anda tidak punya izin! Kok berani-beraninya Anda menjual starter pack dengan nama Kartu As.”

“Saya dari Oke Comm, pak. Saya memang tidak punya izin, tapi saya menyewa jaringan dan lisensi milik Telkomsel.”

Pemerintah bingung, tapi demi menjaga wibawanya, pemerintah tetap keukeuh mengatakan, “Tidak boleh! Anda melanggar aturan!”

“Kalau begitu apa beda saya Oke Comm yang menjual starter pack Kartu As dan Oke Shop yang juga menjual starter pack Kartu As?”

Pemerintah tambah bingung.

***

Itulah mobile virtual network operator (MVNO), level yang lebih canggih dalam network sharing ala XL-Axis yang cuma roaming domestik. MVNO dan roaming domestik sama-sama sewa jaringan dan sama-sama belum ada aturannya di Indonesia.

Ketua Umum ATSI Sarwoto Atmosutarno mengatakan, roaming domestik atau MVNO harus diatur, tapi yang diatur sebaiknya hal yang menyangkut interkoneksinya saja. Selebihnya diserahkan secara business to business (B2B).

Roaming domestik adalah kelanjutan dari konsolidasi jaringan level menara bersama. Level lanjutannya adalah transmisi bersama sehingga kabel serat optik atau microwave yang menghubungkan Mobile Switching Center (MSC) ke Base Station Controller (BSC) atau BSC ke Base Transceiver Station (BTS) bisa di-sharing ke operator lain.

“Level yang lebih canggih dalam konsolidasi jaringan adalah MVNO, number fortability (NF), dan roaming domestic. MNVO, NF maupun roaming domestik itu belum ada regulasinya,” kata Sarwoto.

Konsolidasi jaringan itu sejatinya akan mempertegas operator yang menjadi network provider (NP) dan siapa service provider (SP). Operator NP itu adalah operator yang memiliki jaringan luas dan lengkap. Menurut Sarwoto, operator yang pantas menjadi NP adalah Telkom Group, Indosat Group dan XL Group. Tiga grup itu sama-sama memiliki jaringan, menara, jaringan fiber optik, dan bahkan satelit.

Sarwoto yang juga dirut Telkomsel berpendapat begitu. Tapi ada yang berpendapat lain, mengingat operator telekomunikasi saat ini ada 11. Jumlah itu terlalu banyak mengingat Malaysia hanya punya tiga operator, Australia (4), Singapura (3), dan India (7). Dirut Telkom Rinaldi Firmansyah berpendapat, idealnya jumlah operator di Indonesia cuma 5-6 operator, tapi ada yang bilang 3-4 operator saja.

Nanti dulu. Itu 11 operator adalah operator telekomunikasi., yang terdiri atas operator GSM dan CDMA. Di antara 11 operator itu ada lima operator 3G. Selain itu, pemerintah baru menerbitkan 30 lisensi broadband wireless access (BWA) pada frekuensi 2,3 GHz bagi delapan perusahaan, menyusul 55 lisensi BWA pada frekuensi 3,3 GHz yang telah lama dimiliki sembilan perusahaan. Operator BWA itu akan menggunakan teknologi Wimax. Sebentar lagi ‘lahir’ operator 4G yang mengusung teknologi Long Term Evolution (LTE).

Terbentanglah nama-nama operator telekomunikasi di Tanah Air mulai tahun depan. Tak lagi 11 operator, tapi bisa jadi lebih dari 30 operator. Semuanya bisa memberikan layanan komunikasi suara, teks, data dan gambar atau video.

Pantaslah kalau Presdir PT Mobile-8 Telecom Tbk Merza Fachys geleng-geleng kepala. Ia menganggap, perkara kerja sama roaming domestik antara operator XL dan Axis bukan suatu hal biasa. Kerja sama itu bisa menjadi luar biasa dan oleh karena itu pemerintah atau regulator harus segera mengantisipasinya.

Cerita tentang Oke Comm dan Oke Shop itu bukan tidak mungkin benar-benar terjadi dalam waktu tak lama lagi. “Kalau kerja sama XL dan Axis itu ibarat bertamu, sedangkan sharing network dalam cerita Oke Comm dan Oke Shop itu ibarat asrama atau kos-kosan,” kata Merza.

Penyewa ‘kamar’ di sebuah asrama bisa sesuka hatinya menyediakan produk yang full music atau tidak, yang memiliki fasilitas video atau cuma televisi. Sebuah asrama itu bisa saja bernama Telkomsel, Indosat, XL atau bahkan GSM atau CDMA.

Dan, sebenarnya masing-masing operator GSM telah menerapkan model asrama itu secara nafsi-nafsi. Telkomsel kini membangun tiga ‘kamar’ (brand) dengan nama Kartu Halo, Simpati dan Kartu As, sedangkan Indosat membangun tigak brand Matrix, Mentari, dan IM3. XL juga punya XL Bebas, XL Jempol dan XL Xplor.

Tiga operator besar GSM itu kini berjaya pada layanan dasar (suara dan SMS). Tapi bagaimana dengan layanan data (mobile broadband), yang katanya akan menggusur dominasi layanan suara dan SMS? Ketiganya tak berdaya, karena keterbatasan kanal frekuensi. Maklumlah jatah frekuensi 3G buat masing-masing tiga operator itu hanya dua kanal alias 10 MHz. Jumlah ini jelas tak cukup!

Bagaimana dengan operator CDMA? Sebutlah Flexi Telkom dan Esia dari Bakrie Telecom, dua operator CDMA terbesar saat ini. Dua operator CDMA itu sekarang menahan nafas, akibat keterbatasan kanal frekuensi. Operator Flexi dan Esia masing-masing memiliki tiga kanal, dan oleh karenanya keduanya tak optimal dalam menawarkan layanan data. Padahal layanan data adalah tren masa depan. Apakah berarti Flexi dan Esia tak punya masa depan sehingga pantas diucapkan ‘Selamat Malam’ buat mereka berdua?

Lain halnya kalau Flexi dan Esia bergabung sehingga tersedia enam kanal untuk dipakai bersama dengan satu jaringan. Tiga kanal bisa dipakai untuk layanan suara dan SMS, dan tiga kanal sisanya untuk layanan data. Berkibarlah bendera Flexi dan Esia.

Tapi akan lebih dahsyat lagi, kalau enam operator CDMA (Bakrie Telecom, Mobile-8, Smart Telecom, Telkom Flexi, StarOne-Indosat dan Sampoerna Telecom) bergabung menjadi satu. StarOne punya dua kanal, Mobile-8 (4 kanal), Smart (5 kanal), Bakrie Telecom (3 kanal), dan Telkom Flexi (3 kanal). Total ada 17 kanal, yang bisa dipakai bersama oleh Flexi, Esia, StarOne, Fren, Hepi, dan Smart.

Kanalnya ada 17 alias 85 MHz. Katakanlah, 10 kanal untuk layanan suara, dan tujuh kanal untuk layanan data. Jaringannya cuma satu, tapi produknya ada enam atau lebih. Rumahnya satu, tapi kamarnya banyak. Ada kamar dengan brand Flexi, kamar Esia, kamar Fren, kamar Hepi, kamar StarOne dan kamar Smart.

Penggunaan sumber daya frekuensi jadi efisien, dana yang diinvestasikan untuk membeli perangkat telekomunikasi yang impor seluruhnya itu menjadi hemat. Ujung-ujungnya adalah ketersediaan layanan telekomunikasi bagi seluruh masyarakat dan dengan harga sangat terjangkau. Buat bangsa dan negara ini.

Seperti kata Dirut Telkomsel Sarwoto Atmosutarno, “saya kira, ini message buat kita semua. Buat operator telekomunikasi, buat Kabinet Indonesia Bersatu Jilid II, Bappenas, Menkominfo, BKPM, KPPU, BRTI, dan semuanya. Mari kita duduk bareng menyiapkan persoalan ini. Sarwoto tidak menyebut Cetak Biru atau Master Plan Industri Telekomunikasi Indonesia, tapi Merza menyebutnya.

Namun, keduanya tidak mengatakan, sesungguhnya pemerintahlah yang menghambur-hamburkan uang rakyat untuk membeli perangkat jaringan telekomunikasi dari luar negeri. Dan, keduanya tidak menuduh pemerintah yang membuat harga layanan telekomunikasi masih mahal.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar