Kamis, 10 Desember 2009

WAWANCARA DIRUT TELKOMSEL SARWOTO ATMOSUTARNO (2)

Perusahaan Melebur, Brand Bisa Tetap Berkibar

Banyak yang menilai, 11 operator telekomunikasi di Indonesia terlalu banyak, dibandingkan Malaysia yang punya tiga operator, Australia (4), Singapura (3), dan India (7). Tak heran bila Dirut PT Telkom Tbk Rinaldi Firmansyah mengatakan, idealnya Indonesia hanya memiliki 5-6 operator.

Ide konsolidasi sudah berkumandang sejak tiga tahun silam, tapi hingga kini belum ada realisasinya. Namun, konsolidasi itu tak melulu entitas bisnisnya, tapi bisa juga konsolidasi jaringan atau layanannya. Bahkan tak tertutup kemungkinan muncul ide konsolidasi entitas tanpa menghilangkan brand produk yang sudah memasyarakat, seperti ketika Satelindo melebur ke Indosat. Brand Mentari Satelindo masih tetap berkibar hingga kini.

Selain isu tentang konsolidasi, hal yang masih mewarnai tahun ini adalah masalah perang tarif. Meski terasa begitu menyakitkan buat sebagian operator, perang tarif masih terus berlanjut dalam bentuk yang lain. Yakni, perang menawarkan starter pack murah atau nyaris gratis. Apa yang seharusnya dilakukan operator, regulator dan semua pihak agar industri telekomunikasi bisa lebih dewasa menatap masa depan?

Berikut ini adalah bagian kedua dari hasil wawancara penulis dengan Ketua Umum Asosiasi Telepon Seluler Indonesia (ATSI), yang juga Dirut Telkomsel, Sarwoto Atmosutarno mengenai peta industri telekomunikasi ke depan.

Selain konsolidasi network, Anda juga menyebutkan konsolidasi services dan konsolidasi entitas. Bagaimana dengan konsolidasi services itu?

Konsolidasi services itu akan berhubungan dengan content. Operator A bisa menggunakan platform content dari operator lain. Misalnya, operator B punya platform RBT. Bagi operator baru, A, tak perlu investasi untuk content RBT karena bisa menggunakan platform RBT dari operator B. Mereka bisa membagi pendapatan (revenue sharing). Dan, platform content yang bisa di-sharing itu tidak hanya RBT, tapi juga content unik lain, semacam internet platform, mobile advertising platform atau platform lainnya.

Sedangkan untuk konsolidasi entitas, apakah mungkin terjadi dalam waktu dekat?

Ya. Jadi, bayangkan jumlah operator yang sekarang ada 11. Konsumen, saya kira, bingung. Dan pada akhirnya konsumen tetap memilih tiga atau empat operator yang besar-besar saja.

Baru-baru ini, Smart mengakuisisi Mobile-8. Lalu, muncul isu Telkom Flexi sedang ‘pacaran’ dengan Esia. Apa mungkin mereka merger dalam waktu dekat?

Ya, mungkin saja. Itu kan tergantung dari kedua pihak, apakah hitung-hitungannya cocok.

Mungkinkah beberapa operator bergabung menjadi satu, tapi brand masing-masing tetap eksis. Misalnya, Flexi dan Esia melebur. Pemiliknya tetap dan brand-nya tak berubah, seperti ketika Satelindo (Mentari) melebur ke Indosat (IM3).

Itu sangat bisa. Lalu, setelah bergabung dan tanpa membuang brand yang sudah dikenal di pasar, mereka bisa bersepakat untuk investasi bersama mengembangkan dan membangun kapasitas jaringan. Soal pembagian revenue, itu tidak masalah. Masalahnya adalah bagaimana mengintegrasikan network yang sudah dimiliki operator A dan operator B. Ini pun sangat mudah, apalagi bila operator A dan B itu sama-sama CDMA. It’s very easy.

Dari tiga jenis konsolidasi (network, services dan entitas), mana yang akan segera terjadi di Indonesia?

Menurut saya, ketiga-tiganya jenis konsolidasi itu sangat mungkin terjadi di Tanah Air. Itu pilihan yang sangat mungkin. Ide ini sebenarnya dari ATSI (Asosiasi Telepon Seluler Indonesia). Ketika saya menjadi ketua umum ATSI, saya bilang, “ngapain you pusing-pusing mikirin jaringan. Lebih baik you sharing aja.” Pemerintah, menurut saya, cukup mengatur interkoneksinya saja.

Bagaimana dengan persaiangan antaroperator yang the big three itu? XL tawarkan kartu perdana Rp 2.000, Indosat Rp 5.000 dan Telkomsel Rp 10.000. Tahun lalu, XL mengguyur 110 juta starter pack, Indosat 60 juta, XL 70 juta. Sementara itu, net add subscriber cuma satu dari 6-7 starter pack yang disebar.

Kalau Anda lihat data net additional subscriber dari kuartal ke kuartal, akuisisi pelanggan Telkomsel masih paling tinggi dibanding semua operator lain. Yakni, 1:4-5. Sedangkan mengenai harga starter pack, Telkomsel adalah operator yang fokus pada value karena kami ingin memberikan kualitas.

Kami sadar betul dengan customer experience bahwa untuk apa membeli kartu perdana murah, tapi melangkah beberapa meter tak bisa dipakai lagi. Percuma, toh!

Jadi, kami sesungguhnya lebih efisien.

Apakah hal ini masih dalam rangka price war?

Menurut saya, industri ini harus memperbaiki dulu price war ini. Bukan berarti kami takut price war, ya. Silakan saja. Tapi untuk keseluruhan industri ini, price war ini tidak bagus. Lebih baik kita fokus pada kualitas. Sekarang konsumen sudah menikmati the lowest price in the world. Oleh karena itu, alangkah baiknya dan memang sudah saatnya, industri ini menyajikan kualitas komunikasi terbaik bagi pelanggannya.

Untuk apa kita menurunkan price lagi, kalau ternyata keadaan itu membuat industri ini menderita.

Bukankah tiap-tiap operator sekarang menyatakan sangat concern dengan kualitas?

Ya, saya harap begitu. Karena operator tak perlu lagi campaign dengan cara yang tidak santun. Ini adalah saatnya buat kita menata industri ini. Kita starting tahun depan. Ya regulasinya, pemainnya, konsolidasinya. Misalnya, kita punya ide agar industri pemanufaktur telekomunikasi lokal tumbuh sehingga operator telekomunikasi bisa menggunakan perangkat yang memenuhi syarat kandungan lokal (TKDN). Tapi dengan price war, hal ini tak akan terwujud. Dengan price war, mana mungkin kita membeli perangkat telekomunikasi dalam negeri. Lebih baik saya membeli perangkat telekomunikasi asing, yang sudah pasti, teruji, dan relatif lebih murah.

Sebagai ketua umum ATSI, Anda pasti berkepentingan dengan ini?

Jadi, ini harus kita benahi. Ayo kita duduk bareng, bagaimana agar industri ini lebih sehat mengingat tugas kita masih banyak. Saat ini saja, belum seluruh desa di Nusantara ini menikmati layanan telekomunikasi. Kita harus menyeimbangkan diri sebagai pelaku bisnis dan sebagai warga negara. Kalau kita hanya mengurusi bisnisnya saja, lalu siapa yang akan mengurusi desa-desa terpencil? Siapa yang akan mengurusi dan membantu pengembangan vendor-vendor perangkat jaringan telekomumunikasi lokal?

Saya kira, ini message buat kita semua. Buat operator telekomunikasi, buat pemerintah, Bappenas, Menkominfo, BKPM, KPPU, BRTI, dan semuanya. Mari kita duduk bareng menyelesaikan persoalan ini.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar