Rabu, 02 Desember 2009

XL Ingin Kalahkan Indosat

JAKARTA – Persaingan memperebutkan pelanggan telepon seluler (ponsel) pada tahun depan masih akan berlangsung antara tiga operator besar, Telkomsel, Indosat, dan XL. Perang harga masih terjadi lewat kartu perdana. Kartu prabayar XL ditawarkan dengan harga Rp 2.000, Indosat Rp 5.000, dan Telkomsel Rp 10.000.

Harga kartu perdana yang menunjukkan segmentasi tiga besar operator seluler di Tanah Air itu tidak hanya memboroskan uang, tapi juga sumber daya nomor. Hal itu amat disayangkan, ketika industri ini seharusnya lebih mementingkan kualitas.

Demikian rangkuman pendapat dari Dirut PT XL Axiata Tbk Hasnul Suhaimi dan Chief Marketing Officer Indosat Guntur S Siboro, serta Dirut Telkomsel Sarwoto Atmosutarno di Jakarta, belum lama ini.

Per kuartal III 2009, operator XL yang mengklaim telah memiliki jumlah BTS (18.790 unit) lebih banyak dari Indosat (16.145 unit BTS), meski pelanggan XL (26,6 juta) masih lebih kecil dari Indosat (28,7 juta). Angka itu masih jauh di bawah Telkomsel yang memiliki sebanyak 29.000 BTS dan pelanggan lebih dari 80 juta.

Feelling saya, pada akhir tahun ini, posisi jumlah pelanggan XL sudah sama dengan Indosat. Revenue, saya kira sudah sama,” kata Hasnul.

Menurut Hasnul, strategi yang diterapkan XL selama ini sudah benar. Yakni, XL memberikan apa yang benar-benar dibutuhkan pelanggan, bahkan dengan tarif telepon yang Rp 80 per menit dan SMS bisa sampai Rp 4 per SMS. “Pelanggan sekarang butuh voice yang murah, SMS dan data yang murah. Pelanggan juga menginginkan jaringan yang berkualitas,” kata Hasnul.

Inilah, kata Hasnul, yang diberikan XL kepada pelanggannya. Selain tarif murah, juga kualitas jaringan yang terjamin. “Untuk itu, tiap tahun kami mengalokasikan dana investasi sebesar 25-30% dari capex untuk kualitas, kapasitas dan coverage,” kata Hasnul.

Namun, Guntur S Siboro dengan agak emosional menampik klaim Hasnul itu. “Tapi apa benar jumlah BTS XL lebih banyak dari Indosat. Jangan-jangan itu hanya klaim mereka saja. Coba you cek ke Depkominfo, siapa yang membayar BHP lebih besar, Indosat atau XL,” kata dia. BHP adalah biaya hak penggunaan frekuensi. BHP dibayar berdasarkan jumlah BTS yang digelar.

Guntur juga tak peduli bila pelanggan XL akhirnya mengungguli Indosat pada akhir tahun ini. “Biar saja. Kenapa kami harus merebut pelanggan sebanyak-banyaknya dengan harga yang murah, kalau ternyata itu tidak menguntungkan? Kita ini bisnis, yang berorientasi pada revenue dan keuntungan,” kata dia.

Dari harga kartu perdana itu, XL bisa meraih lima pelanggan, dibanding Indosat yang cuma dua, dan Telkomsel satu. Indosat tetap pada strategi menghadirkan value bagi pelanggan. “Dari harga kartu perdana itu terlihat bahwa XL menempatkan diri di posisi bawah, Telkomsel di segmen menengah ke atas, dan Indosat di tengah,” kata dia.

Guntur mengingatkan, tentang penghambur-hamburan sumber daya nomor dan uang pada kartu perdana. Pada tahun lalu, Indosat menghabiskan 60 juta kartu perdana, XL 70 juta, dan Telkomsel 110 juta. Biaya produksi satu kartu sekitar US$ 20 sen sehingga total biaya produksi kartu perdana tiga operator besar itu US$ 48 juta atau sekitar Rp 450 miliar.

“Tapi berapa pertambahan pelanggan yang terjadi pada tahun lalu? Untuk mendapatkan satu pelanggan, rata-rata operator harus mengeluarkan 6-7 kartu perdana. Pada tahun lalu, pelanggan Indosat hanya tambah 8,5 juta,” kata Guntur.

Data menunjukkan, pada tahun lalu, pelanggan XL bertambah sebanyak 7,4 juta menjadi 22,9 juta pelanggan, dan Telkomsel tambah 18,5 juta pelanggan menjadi 65,3 juta. “Lalu siapa yang untung? Ya vendor-vendor yang memproduksi kartu itulah,” kata dia.


Saatnya Tata Industri Telko

Dirut Telkomsel Sarwoto Atmosutarno menyayangkan bila ‘hari gini’ masih terjadi perang harga antar-operator. Lebih baik, regulator dan pemain menata industri telekomunikasi guna menatap masa depan yang lebih baik.

“Bukan berarti kami takut price war. Untuk keseluruhan industri, price war tidak bagus. Lebih baik kita fokus pada kualitas,” kata Sarwoto, pekan lalu.

Telkomsel, kata Sarwoto, akan tetap fokus pada value. Yakni, menghadirkan produk yang berkualitas dan dengan jaringan yang berkualitas. “Kalau Anda membeli kartu perdana seribu perak, tapi Anda berjalan 100 meter, kartu sudah tidak bisa dipakai, buat apa?” kata dia.

Sarwoto tidak menampik tentang produksi kartu perdana yang mencapai 110 juta. Namun, dia mengingatkan, jumlah itu relatif terhadap jumlah pelanggan Telkomsel yang 80 juta. “Namun untuk net addiitional subscriber atau net add, Telkomsel adalah yang paling bagus. Untuk meraih satu pelanggan, kami hanya butuh 4-5 kartu. Jadi, kami sesungguhnya sangat efisien dibanding operator lain,” kata dia.

Menurut Sarwoto, operator telekomunikasi harus berpikir ulang untuk menggelar price war yang menyengsarakan itu. Belanja pulsa (ARPU) per pelanggan Telkomsel saat ini turun menjadi Rp 44 ribu per bulan. Angka ini masih lebih bagus dibanding operator lain yang di bawah Rp 40 ribu atau bahkan ada yang tinggal Rp 35 ribu.

“Ini (2010) adalah saatnya buat kita menata industri ini. Tak perlu lagi price war, apalagi sampai kampanye secara tidan santun. Tahun depan kita starting, kita tata lagi. Ya, regulasinya dan pemainnya,” kata dia.

Industri telekomunikasi Indonesia memiliki segudang pe-er, terutama berkaitan dengan besarnya dana yang diinvestasikan, tapi lari ke luar negeri. “Alangkah baiknya, kita duduk bareng, kita tata industri ini agar sehat, agar industri perangkat telekomunikasi lokal juga tumbuh, agar seluruh desa di seluruh Tanah Air bisa menikmati layanan telekomunikasi,” kata dia.

Ini, kata Sarwoto, adalah pesan untuk semua, baik operator telekomunikasi, pemerintah, baik Bappenas, Menkominfo, BKPM, KPPU, BRTI, dan semuanya. “Mari kita duduk bareng menyelesaikan persoalan ini,” kata Sarwoto.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar