Kamis, 21 Januari 2010

Lisensi BWA Internux Terancam Dicabut

MESKI mangkir lagi melunasi kewajiban berkaitan dengan lisensi broadband wireless access (BWA), Internux masih diberi waktu satu bulan ke depan hingga 20 Februari 2010. Namun, Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) menyatakan tak ada deal khusus dengan Internux.

Kepala Pusat Informasi dan Humas Kemenkominfo Gatot S Dewa Broto menegaskan, Kemenkominfo tidak memiliki deal-deal khusus dengan pihak Internux di balik tenggang waktu satu bulan lagi untuk pembayaran upfront fee dan biaya hak penggunaan (BHP) frekuensi. Keputusan yang diambil Kemenkominfo dinilainya sesuai dengan Undang-Undang Telekomunikasi No 36/1999 pasal 45-46 dan Peraturan Pemerintah No. 52/2000 pasal 95.

Semua yang kami lakukan dapat dipertanggungjawabkan. Kami punya keharusan untuk memberi tiga kali peringatan. Dan, peringatan kali ini untuk yang terakhir kalinya,” kata Gatot di Jakarta, Rabu (20/1).

Gatot mengatakan, batas waktu yang diberikan hingga 20 Februari 2010 itu merupakan kesempatan terakhir buat Internux. Jika Internux kembali gagal memenuhi kewajibannya pada 20 Februari, lisensi BWA yang telah dikantunginya akan ditarik kembali. Keputusan tersebut sesuai dengan UU No 36/1999 tentang Telekomunikasi Pasal 45-46 dan Peraturan Pemerintah No. 52/2000 pasal 95. “Setelah 20 Februari 2010 tidak akan ada lagi perpanjangan waktu,” kata Gatot.

Internux merupakan satu-satunya perusahaan non-konsorsium yang belum melunasi kewajibannya untuk Wimax. Internux yang sahamnya dikuasai investor asing itu adalah pemegang lisensi BWA untuk zona Jadebotabek dan Banten. Biaya yang harus dibayar oleh Internux sebesar Rp 232,234 miliar, yang terdiri atas up front fee sebesar Rp 121,201 miliar dan BHP sebesar Rp 110,033 miliar.

Sementara itu, pemegang lisensi BWA lain, seperti PT Telkom Tbk, PT Indosat Mega Media, PT First Media PT Jasnita Telekomindo sudah melunasi kewajibannya. PT Berca Hardayaperkasa juga sudah memenuhi kewajibannya, namun masih harus membayar denda keterlambatan pembayaran. “Berca sampai saat ini baru membayar BHP frekuensi radio saja. Kewajiban denda atas keterlambatannya waktu itu masih dalam penagihan Ditjen Postel,” kata Gatot.

Sedangkan bagi pemegang lisensi dalam bentuk konsorsium, seperti PT Konsorsium Wimax Indonesia (KWI) dan Konsorsium PT Comtronics Systems dan PT Adiwarta Perdania harus melunasi kewajibannya pada 26 Januari 2010. Gatot berharap konsorsium bisa melunasi kewajibannya tepat waktu. “Konsorsium jangan minta perpanjangan waktu lagi karena waktu yang sudah kami berikan sudah cukup longgar,” kata dia.

Wimax 16e

Akses internet melalui layanan BWA ditargetkan beroperasi pada November 2010. Kesiapan ini ditegaskan oleh PT Telkom, PT Indosat Mega Media (IM2) dan PT Konsorsium Wimax Indonesia (KWI).

Vice President Public and Marketing Communication Telkom Eddy Kurnia mengatakan, Telkom menjadikan regulasi sebagai landasan untuk mengembangkan teknologi telekomunikasi. Pihaknya tidak ingin terjebak pada perdebatan standar perangkat wimax soal penggunaan perangkat 16 d (Wimax nomadic) atau 16 e (Wimax mobile). Apalagi, road map pengembangan Wimax telah ada, lanjut dia, didukung sarana dan prasarana yang memadai untuk pengoperasiannya.

“Setiap teknologi yang berkembang sebenarnya siap dipergunakan. Pada dasarnya, kami sudah siap untuk mengembangkan wimax. Tapi, sekarang menunggu regulasinya dulu,” kata dia.

Sementara itu, Corporate Communication Assistant Manager IM2 Adrian Prasanto mengatakan, IM2 menunggu keputusan Ditjen Postel soal penggunaan perangkat Wimax.

Bila Ditjen Postel tetap bertahan dengan 16d, sambung dia, pihaknya tidak akan mempersoalkan karena sudah diantisipasi secara teknologi. Hasil uji coba perangkat 16d dari dua vendor, Harrif dan TRG, membuktikan perangkat tersebut telah memadai untuk dipergunakan. Tapi, IM2 belum menunjuk vendor untuk menjadi mitra dalam penyediaan perangkat pada zona yang dimenangkannya.

“Pokoknya, mau pakai 16d atau 16e, kami siap. Tinggal regulasinya saja mau pakai yang mana,” kata dia.

Planning Enginering Director PT KWI Teddy Purwadi menjelaskan, PT KWI menginginkan Ditjen Postel menggunakan Wimax 16 e ketimbang 16 d. Alasannya, pasar global sudah mengarah ke teknologi terbaru. Di sisi lain, industri lokal belum memiliki kesiapan untuk memproduksi massal perangkat Wimax. Meski demikian, Teddy tetap menghormati alasan pemerintah untuk melindungi industri lokal dengan tetap memakai 16d.

“Kami sebenarnya inginnya memakai teknologi yang paling maju, 16e. Jadi, nggak perlu lagi kami upgrade,” kata dia.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar