Kamis, 14 Januari 2010

Vonis Hakim Tak Bikin Jera Pembajak Software

MAJELIS hakim diminta mempertimbangkan aspek nilai kerugian yang diderita pengembang software dan negara saat menjatuhkan vonis pada terdakwa pembajakan software. Selama ini, vonis pengadilan terhadap terdakwa kasus pembajakan software hanya sanksi minimal sehingga tidak menimbulkan efek jera.

"Di masa mendatang, kami mendorong lembaga pengadilan agar mempertimbangkan peningkatan pemidanaan terhadap para pelaku pelanggaran hak cipta atas software," kata Kepala Perwakilan dan Juru Bicara Business Software Alliance (BSA) Indonesia Donny A Sheyoputra di Jakarta, Rabu (13/1).

BSA adalah kumpulan vendor peranti lunak dunia, yang beberapa vendor software dalam negeri juga ikut bergabung. Oleh karena itu, BSA Indonesia lebih menjadi corong vendor peranti lunak dunia dalam menyuarakan kepentingan mereka, ketimbang vendor sofware lokal. Donny jadi juru bicara BSA di Indonesia, sekaligus juru bicara vendor asing itu.

Menurut Donny, selama 2009, BSA dipanggil menjadi saksi ahli pada 23 kasus, mulai dari tingkat Polres hingga Polda. Peranti lunak yang dipalsukan adalah milik perusahaan asing, seperti Microsoft, Adobe, McAfee, Corel, Borland dan Syamntec. Namun, setelah perkara itu sampai di Pengadilan Negeri, vonis yang dijatuhkan hakim adalah sanksi minimal, yakni hukuman penjara 4-12 bulan dan denda sekitar Rp 1-10 juta. Vonis ini tidak menimbulkan efek jera.

"Padahal, dalam UU Hak Cipta No 19/2002, pada Pasal 72 ayat 3, disebutkan, kalau terbukti bersalah, hukuman maksimalnya adalah lima tahun penjara dan/atau denda Rp 500 juta,” kata dia.

Menurut dia, Majelis Hakim tidak bisa hanya memberikan sanksi denda yang minimal itu, apalagi dendanya cuma Rp 1-10 juta. Sebab nilai kerugian akibat pembajakan software, baik dari segi pajak untuk negara maupun hak cipta anggota BSA yang dirugikan sangat tinggi. “Kerugiannya bisa ratusan juta rupiah,” kata dia.

Sementara itu, Kepala Unit I dan II Ekonomi Khusus Bareskrim Mabes Polri Kombes Toni Hermanto mengakui lemahnya vonis hakim dalam kasus pembajakan software itu. “Melihat vonis-vonis yang ada, kami banyak menerima komplain dari stakeholder industri software, termasuk pemegang hak kekayaan intelektual (HKI). Sebab jika vonisnya hanya sanksi minimal, bagaimana bisa menimbulkan efek jera bagi pelaku pembajakan software," kata dia.

Kepolisian Republik Indonesia (Polri) merupakan anggota Tim Nasional Penanggulangan Pelanggaran Hak Kekayaan Intelektual (Timnas PPHKI). Pembahasan mengenai masalah pembajakan perantilunak ini sudah beberapa kali dilakukan. Hasilnya, Tim Nasional PPHKI meminta kepada seluruh jajaran Polri agar lebih responsif terhadap kasus pembajakan software. Kasus pembajakan ini bisa merugikan citra negara. Apalagi sejak 2009 Indonesia masuk lagi ke Priority Watch List dari Departemen Perdagangan Amerika Serikat (USTR).

Toni menjelaskan, USTR ketika memasukkan Indonesia ke Priority Watch List juga mengajukan 14 permintaan kepada pemerintah Indonesia. Vonis yang ringan untuk kasus pembajakan software salah satu permintaan kepada pemerintah agar diperbaiki.

Menurut dia, kualitas dan kuantitas penegakan hukum atas kasus pembajakan software harus ditingkatkan. Dibandingkan kasus pelanggaran HKI untuk cakram optic, pembajakan software masih mendapat perhatian kecil. Mabes Polri pada tahun lalu menangani empat kasus pembajakan software dan pada tahun ini (hingga kini) sedang memproses tiga kasus.

“Yang harus diwaspadai pula sekarang adalah para pembajak bisa membuat software bajakan dari mesin duplikator cakram optic. Dengan kemampuan produksi satu mesin duplicator 1.000 keping per tujuh menit, berapa banyak produk software bajakan yang bisa diproduksi dalam sehari,” ujar dia.

Sedangkan Chief Executive Officer (CEO) PT Businessoft Indonesia Johannes Dicky mengatakan, majelis hakim perlu menjatuhkan vonis secara optimal kepada pelaku pembajakan agar menimbulkan efek jera. Indonesia mungkin perlu meniru Uni Eropa yang menerapkan sanksi secara proporsional untuk kasus pembajakan software berupa sanksi denda sesuai dengan kekayaan yang dimiliki pelaku pembajakan.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar