KEPEDULIAN pemerintah terhadap industri dalam negeri kembali diuji. Kali ini dalam bisnis menara telekomunikasi yang hanya menegakkan rangka besi. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Menteri BKPM diminta menutup bisnis menara telekomunikasi bagi investor asing.
Demikian disampaikan Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo) Tifatul Sembiring, anggota Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI) Nonot Harsono, dan Sekjen Asosiasi Pengembang Infrastruktur Menara Telekomunikasi (Aspimtel) Peter M Simanjuntak dalam kesempatan terpisah di Jakarta, pekan lalu.
Dua tahun lalu, Menkominfo (kala itu) Muhammad Nuh telah menerbitkan Peraturan Menkominfo yang melarang investor asing masuk dalam bisnis menara. Keputusan itu mendapat dukungan dari Kepala Badam Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) kala itu Muhammad Luthfi. Bahkan, Luthfi kalai itu menegaskan, investor asing bahkan sama sekali tidak boleh memiliki saham pada bisnis menara itu, termasuk melalui anak usaha atau cucu usahanya.
Hanya saja, Kepala BKPM kala itu belum berhasil mengegolkan keinginannya dan keinginan Menkominfo Muhammad Nuh untuk menutup asing masuk dalam bisnis menara telekomunikasi itu. Hal itu perlu dimasukkan dalam Daftar Negatif Investasi (DNI), yang oleh karena itu harus mengubah atau merivisi Peraturan Presiden (Perpres) No 111/2007 tentang DNI.
Dalam pemerintahan SBY-Boediono, Menko Perekonomian Hatta Rajasa mengungkapkan, rencana revisi DNI masih terganjal hal pembatasan kepemilikan asing di bisnis menara. "Kemenkominfo masih mempertahankan pemodal domestik sebagai penguasa penuh sektor usaha menara telekomunikasi," kata Hatta.
Namun, Kepala BKPM yang baru, Gita Wirjawan, meragukan kemampuan pengusaha lokal menyediakan dana yang sangat besar untuk pembangunan menara telekomunkasi. Dana yang dibutuhkan untuk membangun menara sebsar Rp 8 triliun per tahun.
"Pemerintah membuka kesempatan kepada investor asing masuk ke bisnis menara telekomunikasi, dengan pertimbangan bahwa kebutuhan investasi di sektor tersebut masih sangat besar," kata Gita.
Menanggapi pernyataan Gita tentang kebutuhan dana investasi yang amat besar itu, Sekjen Aspimtel Peter M Simanjuntak menilai, kebutuhan investasi menara per tahun tak sebesar Rp 8 triliun. "Angka sebesar itu idealnya untuk empat tahun," ujar Peter.
Berpihak ke Pengusaha Lokal
Investor asing memang sejak lama menginginkan bisnis menara di Tanah Air. Ketika Kemenkominfo dan BKPM era 2004-2009 ingin menutup bisnis menara bagi investor asing, akhirnya mereka gigit jari. Kini, di era pemerintahan 2009-2014, Kepala BKPM Gita Wirjawan malah ingin memberi angin segar kepada investor asing.
“Menara telekomunikasi masih bisa dikelola oleh investor lokal. Karena teknologi ini sederhana, hanya pondasi, besi-besi, dan tiang. Kalau ini juga dikuasai asing, apa bagian orang Indonesia, untuk investor lokal?” kata Menkominfo Tifatul Sembiring.
Revisi DNI mengenai boleh-tidaknya investor asing berbisnis di menara, menurut Tifatul, masih didiskusikan. Ada kemungkinan, asing tak dilarang sama sekali masuk dalam bisnis menara, tapi asing dibolehkan menguasai saham perusahaan menara itu hingga di atas 51%.
Menkominfo Tifatul Sembiring tak sendirian, tapi mendapat dukungan dari Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI). BRTI tegas menyatakan menolak investor asing di bisnis menara telekomunikasi demi menjaga keberlangsungan pengusaha lokal. "Sebelum Perpres DNI direvisi, kami tetap berpendirian menolak asing pada perusahaan menara," kata anggota Komite BRTI Nonot Harsono.
Menurut Nonot, menara merupakan satu-satunya sektor dalam bisnis telekomunikasi yang masih dikuasai pebisnis lokal. Jika keran investasi di menara dibuka bagi investor asing, pengusaha dalam negeri dipastikan bakal bergelimpangan.
"Investor asing memiliki dana besar. Mereka siap mencaplok perusahaan lokal yang bergerak di bisnis menara, bahkan mencaplok bisnis menara milik operator telekomunikasi. Maka, industri telekomunikasi benar-benar dikuasai asing," kata dia.
Oleh karena itu, Nonot mengajak semua pihak untuk melihat apakah pemerintah masih berpihak kepada pengusaha dalam negeri atau investor asing. "Mari kita buktikan, apakah Kepala BKPM dan Presiden, memihak asing atau pengusaha nasional," ujar Nonot.
Rp 1.000 Triliun Lari Ke Asing
Keinginan dua anggota Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) jilid I agar bisnis menara hanya boleh dikerjakan oleh pengusaha dalam negeri bukan tanpa alasa. Keinginan Kepala BKPM Muhammad Lutfi dan Menkominfo Muhammad Nuh itu semata-mata sebagai keberpihakan pemerintah kepada pengusaha dalam negeri.
Industri telekomunikasi, sejak pertama, bahkan ketika booming industri seluler, hampir 100% membelanjakan capex (belanja modal) dan opex (belanja operasional) untuk produk asing atau ke perusahaan asing. Tiap tahun, belanja industri telekomunikasi ke asing mencapai Rp 70-80 triliun.
Bila industri telekumunikasi seluler (Telkomsel, Indosat dan XL) bermunculan pada 1995-1996, berarti dalam 15 tahun ini, tak kurang dari Rp 1.000 triliun uang rakyat Indonesia yang dibelanjakan bagi produk telekomunikasi asing. Itu belum termasuk belanja masyarakat untuk membeli handphone.
Padahal Kemenkominfo telah mengeluarkan aturan tentang tingkat komponen dalam negeri (TKDN) dalam belanja modal dan belanja operasional perusahaan telekomunikasi di Tanah Air. Syaratnya, TKDN untuk capex adalah 35% dan untuk opex 50%.
Selain itu, bisnis menara telekomunikasi hanyalah merangkai rangka baja, tanpa membutuhkan teknologi. Orang Indonesia bisa melakukannya. Memang pembangunan menara butuh dana yang tidak sedikit, tapi bisnis menara amat diminati perbankan untuk dukungan pendanaan. Menara yang dibangun di lokasi strategis pasti disewa operator telekomunikasi untuk menaruh radio pemancarnya atau based transceiver station (BTS).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar