Jumat, 12 Maret 2010

Kasus Pembajakan Software Meningkat

TINGKAT pembajakan produk software di Indonesia diperkirakan meningkat, jika pemerintah jadi mengubah sifat delik kasus hak kekayaan intelektual (HKI) dari delik biasa ke delik aduan dalam RUU perubahan Undang-Undang Hak Cipta Nomor 19/2002. Sebab, perubahan sifat delik kasus membuat aparat penyidik kepolisian tidak bisa melakukan tindakan hukum, sebelum ada laporan pengaduan.

Untuk itu, Business Software Alliance (BSA) Indonesia dan Kepolisian meminta pemerintah mengkaji perubahan UU Hak Cipta ini. Demikian rangkuman pendapat Kanit I Indag Direktorat II Ekonomi Khusus Bareskrim Mabes Polri, Toni Hermanto dan Kepala Perwakilan Business Software Alliance (BSA) Indonesia Donny Sheyoputra di Jakarta, Kamis (11/3).

Toni mengatakan, sebagai penyidik, pihaknya cukup terkejut dengan rencana perubahan sifat delik kasus HKI tersebut. Apalagi saat ini draf RUU tersebut sudah masuk dalam prolegnas.

“Perubahan sifat delik kasus HKI ini bukan jawaban dari persoalan pelanggaran HKI atau pembajakan produk-produk software,” kata dia usai kegiatan pelatihan penyidikan tindak pidana hak cipta atas penggunaan software komputer tanpa lisensi oleh end user untuk kepentingan komersial.

Perubahan menjadi delik aduan, lanjut dia, membuat aparat kepolisian tidak bisa melakukan tindakan hukum meski terjadi pelanggaran kasus HKI di depan mata. Sebab, upaya tindakan hukum baru bisa dilakukan, jika ada pihak yang melaporkannya. “Akibatnya, tingkat pembajakan akan meningkat,” ujarnya.

Lebih lanjut, Toni menjelaskan, perubahan RUU ini sudah dibicarakan beberapa bulan yang lalu dengan kepolisian. Pihak penyidik dari Bareskrim Mabes Polri, kata Toni, sudah membuat komentar dan analisis terkait terhadap rencana perubahan sifat delik di kasus HKI.

Kesimpulan dari analisis kepolisian, sambung dia, jika dijadikan delik aduan, tindakan represif seperti upaya penegakan hukum yang masih minim di kasus HKI makin tidak bisa dilakukan. “Prediksi saya angka pembajakan akan meningkat jika delik aduan jadi dilakukan. Usulan kami draft dipertimbangkan lagi,” ucapnya.

Pendapat senada diutarakan Donny, dia memperkirakan dampak perubahan delik ini, antara lain jumlah upaya penegakan hukum akan berkurang drastis. Sebab, diperlukan pengaduan dari pihak yang dirugikan untuk dilakukan upaya penegakan hukum oleh aparat penyidik Polri. Padahal, tidak semua pemegang hak cipta berkedudukan atau memiliki perwakilan di Indonesia. Kondisi tersebut dinilainya akan mempersulit proses pengaduan sebagaimana dipersyaratkan.

Faktor lainnya, lanjut Donny, perubahan delik membuat pengaduan kasus HKI semakin sulit. “Dari sisi penyidik misalnya, kesulitannya adalah penyidik harus memeriksa mereka (pemegang hak cipta) sebagai saksi korban,” ujar Donny sambil mengusulkan, semua pihak terkait mengkaji lebih mendalam draft perubahan UU Hak Cipta ini di prolegnas.

Pelatihan Aparat

Sementara itu, kuasa hukum Autodesk, perusahaan software asal Amerika Serikat, Justisiari P Kusumah mengatakan, Autodesk mempunyai beberapa strategi untuk menangani pelanggaran lisensi produk-produk Autodesk, diantaranya sosialisasi dan kunjungan ke perusahaan-perusahaan tentang pentingnya penggunaan produk software asli.

“Kami menanyakan soal lisensi produk-produk Autodesk yang digunakan dan meminta mereka secara sukarela melakukan audit terhadap lisensi-lisensi produk itu,” katanya.

Industri film dan industri jasa arsitektur merupakan industri yang banyak menggunakan produk-produk Autodesk. “Bagi perusahaan yang membandel baru kami menggunakan upaya penegakan hukum,” tegasnya.

Selain melakukan kegiatan door to door ke perusahaan konsumen Autodesk, lanjut Justisiari, secara paralel Autodesk akan mendukung kegiatan pelatihan-pelatihan product knowledge kepada aparat penyidik. Peserta pelatihan yang dilakukan Autodesk saat ini 50 penyidik polri yang berasal dai sejumlah Polda diantaranya Polda Metro Jaya, Polda Riau, Polda Jawa Tengah, Polda Sulawesi Selatan dll.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar