Rabu, 07 Juli 2010

RPM Konten Tak Boleh Kekang Kebebasan Berpendapat

PEMBAHASAN kembali Rancangan Peraturan Menteri (RPM) Konten Multimedia yang kini berubah nama menjadi Tata Cara Pengaduan dan Pelaporan Terhadap Konten Multimedia diharapkan tidak membungkam kebebasan berpendapat di internet. Selain itu, RPM tersebut harus memuat aturan yang jelas dan komperehensif sehingga pelaksanaannya tidak berbenturan dengan aturan lain.

Demikian rangkuman pendapat dari Anggota Komisi I DPR dari Fraksi Demokrat Ramadhan Pohan, Pengamat Komunikasi dan Media Ade Armando, dan Staf Pengajar Media Literacy di Universitas Indonesia Dedy Nur Hidayat dalam berbagai kesempatan terpisah di Jakarta, Senin (5/6).

Ramadhan Pohan mengatakan, Menkominfo Tifatul Sembiring beberapa waktu lalu berjanji kepada publik untuk melakukan pembahasan kembali RPM Konten Multimedia yang diubah namanya menjadi Tata Cara Pengaduan dan Pelaporan Terhadap Konten Multimedia.

Dia juga berharap, aturan Kemenkominfo itu tidak berusaha ditempatkan menjadi ‘obat’ yang menyembuhkan segala penyakit. Sebab, di negara manapun sensor internet tidak pernah efektif, apalagi jika sensor itu dilakukan negara.

“Saya lebih setuju, jika bukan konten yang diatur tetapi distribusinya, seperti internet sehat di sekolah, warnet, dan komputer-komputer rumah,” kata Ramadhan yang mantan Pemimpin Redaksi koran Jurnal Nasional ini.

Dia juga meminta Kemenkominfo bekerja sama dengan masyarakat madani untuk mengembangkan program internet sehat ini untuk diunduh di telepon genggam (HP) pelajar. Kemenkominfo bisa pula bekerjasama dengan polisi untuk memastikan HP pelajar ini menggunakan program tersebut.

“Cara ini bisa lebih efektif daripada mengeluarkan peraturan yang kontroversial,” kata dia.

Apalagi, lanjut Ramadhan, dalam RPM yang lama, kekuasaan sensor internet akan ditentukan oleh sebuah badan beranggota lima orang dari Kemenkominfo dan tiga dari lembaga swadaya masyarakat (LSM). “Tetapi yang berwenang mengangkat anggota badan ini tetap absolut di tangan Menkominfo,” ujar dia.

Pasal RPM ini, menurut Ramadhan, bila dipertahankan akan memunculkan kembali reaksi keras dari masyarakat, seolah-olah pemerintahan kembali ke masa Orde Baru. Selain itu, ada beberapa pasal lain yang secara teknis kontroversial, seperti kewajiban penyedia jasa internet (ISP) untuk bertanggung jawab terhadap konten yang sebenarnya bukan mereka yang buat.

Jangan Terlalu Berlebihan

Sedangkan Ade Armando yang pernah menjabat sebagai anggota Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) ini menilai banyak hal yang harus dipersiapkan pemerintah dalam pembahasan kembali RPM Konten Multimedia.

“Pertama, jangan sampai undang-undang (UU) ini berbenturan atau tumpang tindih dengan aturan lain yang telah ada. Misalnya, saat membahas soal pornografi, jangan terlalu berlebihan sehingga ditakutkan nantinya malah tumpang tindih dengan UU Pornografi,” ujar Ade.

Selanjutnya, kata dia, pemerintah diminta membuat aturan yang jelas dan komperehensif. Dia mencontohkan, soal pencemaran nama baik. Tentu harus dibedakan dengan rinci mana saja yang disebut pencemaran, fitnah dan kebohongan serta bagian mana yang bisa dikategorikan kritik ataupun pendapat terhadap pihak tertentu yang tentu diperbolehkan atas nama kepentingan publik.

Selain itu, isu sensitif seperti SARA juga menjadi salah satu poin yang dinilai Ade pantas dimasukkan dalam aturan RPM Konten. Penyedia jasa internet harus dapat mencegah muatan-muatan yang menghina tokoh keagamaan, simbol keagamaan, provokasi atas ajaran-ajaran tertentu, kritik tanpa alasan dan sebagainya.

“Ada proses pembelajaran bersama. Jangan sampai nantinya lagi-lagi dinilai mengekang kebebasan publik untuk mengemukakan pendapat, berekspresi dan menjadi sarana untuk melegitimasi pihak tertentu, kasus Prita misalnya,” kata Ade.

Sementara itu, Dedy Nur Hidayat berpendapat, konten pornografi yang dikhawatirkan dapat berdampak buruk pada anak-anak remaja tentu harus dibatasi. “Konten seperti ini tentu perlu ada aturan yang ketat agar anak-anak tidak memiliki akses yang mudah soal ini,” ujar Dedy.

Meskipun begitu, Dedy menekankan aturan konten lebih pada gambar visual dibandingkan tulisan. Visual sangat mudah diakses dan mampu dipahami dengan mudah oleh anak-anak dibandingkan tulisan, dan hal itu harus diperhatikan.

Dedy juga mengingatkan pemerintah tidak bersikap berlebihan dengan membatasi hal-hal yang sifatnya penggunaan pribadi. “Jangan sampai berlebihan. Ada beberapa hal yang memang menjadi hak untuk dikonsumi pribadi. Hak publik harus menjadi pertimbangan utama dalam membuat aturan,” papar Dedy.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar