Selasa, 01 Juni 2010

7 Lisensi BWA Resmi Dibatalkan

KEMENTERIAN Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) akhirnya secara resmi mencabut tujuh lisensi BWA milik tiga pemenang tender. Namun, Kemenkominfo tetap membiarkan PT Berca Hardayaperkasa yang hingga kini belum membayar denda keterlambatan pembayaran.

Demikian ditegaskan Menkominfo Tifatul Sembiring di Jakarta, Senin (31/5). Namun, juru bicara Wireless Telecom Universal (WTU) Roy Rahajasa Yamin mengaku belum mendapat putusan resmi dari Menkominfo. Pihaknya juga belum memutuskan apakah akan mengambil langkah hukum atas pencabutan lisensi itu.

Tujuh lisensi Broadband Wireless Access (BWA) pada frekuensi 2,3 GHz yang dicabut itu adalah satu lisensi milik PT Internux, tiga lisensi milik Konsorsium PT Comtronics Systems dan PT Adiwarta Perdania, dan tiga lisensi milik Konsorsium Wireless Telecom Universal (WTU).

“Secara prinsip, bagi pemenang yang yang terlambat membayar kewajibannya akan mendapat sanksi,” tegas Tifatul kepada wartawan di Jakarta, Senin (31/5).

Sebelum pencabutan, Kemenkominfo memberikan tiga kali peringatan sekaligus tenggat waktu tambahan kepada para pemenang yang belum melunasi kewajiban membayar Biaya Hak Penggunaan (BHP) frekuensi dan upfront fee. Keterlambatan dalam melunasi kewajiban juga diganjar sanksi denda sebesar 2%. PT Berca Hardayaperkasa menjadi salah satu pemenang yang belum menebus denda tersebut sejak November 2009.

Dalam proses pemenuhan kewajiban, beberapa pemenang sempat mengajukan keringanan dalam bentuk penundaan atau instalasi pembayaran. “Dalam tender ini, kami hanya menangani masalah teknis. Kalau mereka minta keringanan, mereka harus mengajukan kepada Kementerian Keuangan karena itu menyangkut Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP),” ujar Tifatul.

Pascapencabutan tiga perusahaan pemenang tujuh lisensi BWA itu, pemerintah bersiap menyusun regulasi untuk mencari pemain baru di tujuh zona yang saat ini kosong. Zona-zona tersebut antara lain zona 4 (Jabodetabek dan Banten), zona 5 (Jawa Barat minus Botabek), zona 6 (Jawa bagian Tengah), zona 7 (Jawa bagian Timur), zona 9 (Papua), zona 10 (Maluku dan Maluku Utara), serta zona 15 (Kepulauan Riau termasuk Batam dan Bintan).

Plt Dirjen Postel Muhammad Budi Setiawan memperkirakan, besaran harga penawaran (reserved price) pada tujuh zona ini tetap sama dengan harga yang ditawarkan pada awal tender 2009. Tahun lalu, pemerintah mengajukan reserved price pada 15 zona dengan nilai total Rp 52,35 miliar. Zona 4 menjadi titik termahal dengan harga penawaran Rp 15,16 miliar per blok.

Pemerintah tetap membuka kesempatan kepada semua peminat, termasuk kepada pemenang yang izinnya telah dicabut. “Salah satu opsi untuk pemenang yang gagal bayar (default) adalah pemberian privilege kepada mereka dalam tender ulang,” jelas Budi Setiawan.

WTU Keberatan

Juru bicara WTU Roy Rahajasa Yamin mengaku belum mendapat pemberitahuan resmi mengenai keputusan Menkominfo pada 27 Mei 2010 yang mencabut lisensi BWA milik WTU. Keputusan ini dinilainya sepihak, karena dilakukan tanpa ada pemberitahuan resmi kepada konsorsium. Meski demikian, WTU belum akan mengambil langkah hukum kepada Kemenkominfo, karena masih menunggu surat resmi tersebut.

“Kami kecewa dengan keputusan Kemenkominfo, karena kami sudah bayar lunas beserta dendanya seluruh kewajiban BHP dan Up Front Fee. Sampai saat ini belum ada surat resmi yang kami terima. Jadi kami menunggu dulu surat resminya untuk dipelajari setelah itu diputuskan langkah selanjutnya,” kata Roy kepada Investor Daily di Jakarta, Senin (31/5).

Menurut dia, WTU tidak bisa disamakan dengan konsorsium atau perusahaan lain yang gagal memenuhi kewajibannya. Sebab, WTU telah membayar seluruh kewajiban beserta dendanya. “Mestinya tidak perlu seperti ini (dicabut, red) semuanya kan sudah kita selesaikan,” ujarnya.

Ketika disinggung soal kemungkinan opsi dari pemerintah yang akan memberikan privilage kepada WTU dalam tender ulang, Roy menilai, opsi itu cukup baik, namun memboroskan waktu dan energi. Di satu sisi, kata dia, WTU sudah membayar semua kewajiban. “Ini berarti kami kembali ke titik awal, karena harus ikut lagi proses yang panjang dan melelahkan. Ini tentu pemborosan,” tanya Roy.

Untuk itu, dia mempertanyakan sikap Kemenkominfo yang terkesan bersikap tanpa toleransi kepada WTU. “Kenapa seolah-olah untuk kami tidak ada toleransi sedikitpun, tetapi kalau operator yang besar-besar menunggak BHP tidak diapa-apakan,” ucapnya.

Roy menegaskan, pihaknya akan segera menggelar rapat internal konsorsium WTU, untuk menentukan sikap atas keputusan yang dilakukan Kemenkominfo.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar