Sabtu, 05 Juni 2010

Operator Berebut Jadi Penguasa Broadband

PERANG tarif bukan lagi tema persaingan, karena tarif operator semua murah. Pertarungan telah beralih ke data. Operator pun berlomba adu gengsi menghadirkan internet kecepatan tinggi, meski potensinya masih kecil.

PT XL Axiata Tbk, PT Indosat Tbk dan Telkomsel bersaing ingin menjadi penguasa broadband. Telkomsel yang sudah unggul dalam basis pelanggan tak mau terlibas pada layanan data. Operator dengan jumlah pelanggan lebih dari 83 juta ini ingin melanjutkan kedigdayaannya sebagai penguasa broadband.

Telkomsel adalah operator pertama yang menghadirkan layanan data berteknologi high speed packet access (HSPA)+ dengan kecepatan akses hingga 21 megabit per detik (Mbps). Telkomsel akan menghadirkan teknologi generasi 3,5 (3,5G) itu di 24 kota besar di seluruh Indonesia.

Namun, Indosat tak mau kalah. Setelah menyusul menghadirkan HSPA+ berkecepatan 21 Mbps pada tahun lalu, pada awal 2010 Indosat berani menghadirkan HSPA+ berkecepatan hingga 42 Mbps. Indosat mengklaim sebagai operator pertama di Asia dan operator kedua di dunia (setelah Telstra) yang berani menghadirkan HSPA+ 42 Mbps. Bahkan, Indosat berniat menghadirkan HSPA+ ini di 90 kota besar di Tanah Air.

"Sementara ini, HSPA+ Indosat berkecepatan 42 Mbps ini masih di Jakarta dan Surabaya. Nanti menyusul kota besar lainnya," kata Presiden Direktur dan CEO Indosat Harry Sasongko di Surabaya belum lama ini.

Operator XL masih tertinggal dengan teknologi HSPA. Namun, operator terbesar ketiga di Indonesia bertekad untuk menguji coba layanan data berteknologi generasi keempat (4G) pada akhir tahun ini. "Kami tidak main teknologi yang hanya ditambah plus (+) saja. Itu hanya gimmick-marketing. Kami ingin LTE, dan kami ingin segera menguji cobanya,” ujar Presdir PT XL Axiata Tbk Hasnul Suhaimi.

Padahal, Telkomsel sejatinya sudah lebih dulu menguji coba teknologi Long Term Evolution (LTE) bersama induk usahanya di Singapura, Singtel.

Inilah peta persaingan layanan telekomunikasi saat ini. “Wajar operator bersaing sampai 4G. Tapi jangan lupakan kualitas jaringan dan layanan,” ujar Sekjen Indonesia Telecommunications User Group (IdTUG) Muhamad Jumadi beberapa waktu lalu.

Sebagai pengguna layanan telekomunikasi, Jumadi amat berkepentingan dengan kualitas jaringan dan layanan. Ia tak ingin operator berlomba ke LTE, tapi melupakan kualitas. “Lebih baik, operator memaksimalkan 3G. Operator jangan cuma untuk jaga gengsi atau demi bersaing dengan operator Wimax,” kata dia.

Pengamat telekomunikasi dari Surabaya Oki Tri Utomo mengatakan, masyarakat Indonesia saat ini belum memerlukan layanan 4G. Oleh karena itu, operator sebaiknya memaksimalkan teknologi layanan data yang ada, baik 3G, 3,5G atau pun Wimax. Selain itu, ekosistem aplikasi, konten, komunitas, permintaan dan regulasi masih membatasi.

“Jika melihat ekosistem yang ada, Indonesia masih butuh waktu 2-3 tahun lagi jika memang aspek pendukungnya sudah siap,” jelas Oki. Negara yang sudah menerapkan LTE antara lain Norwegia, Swedia dan Amerika Serikat. Singapura satu-satunya negara yang sudah melakukan uji coba LTE secara resmi.

Tantangan Market Leader

Para pemain di industri telekomunikasi menyadari, ini adalah era layanan data. Oleh karena itu, operator berlomba ingin menjadi yang pertama dalam menerapkan teknologi termutakhir. Inilah tantangan bagi Telkomsel, penguasa pasar telekomunikasi seluler di Indonesia.

Akhir tahun lalu, Direktur Utama Telkomsel Sarwoto Atmosutarno menegaskan tentang komitmennya untuk membangun layanan data berteknologi HSPA+ berkecepatan hingga 21 Mbps di 24 kota. Selain itu, Telkomsel juga ‘ngebut’ mempersiapkan pengoperasian LTE secara komersial pada 2012.

"Kami terus mematangkan akses internet supercepat sampai 100 Mbps. Itulah LTE,” ujar Sarwoto.

Operator dengan pelanggan Flash (layanan data) 2,4 juta dan didukung 5.000 BTS 3G (dari 27.200 BTS) ini mengalokasikan 10% dana belanja modalnya (capex) untuk meningkatkan kualitas layanan data ke HSPA+ itu. Total dana capex 2010 adalah US$ 1,5 miliar atau Rp 13 triliun, yang berarti dana yang dialokasikan untuk data sekitar Rp 1,3 triliun.

Peta jalan perkembangan teknologi GSM memang mengarah ke LTE, dan jenjangnya memang harus melewati HSPA+. Oleh karena itu, Telkomsel mulai menguji coba LTE pada frekuensi yang ada dan dengan memanfaatkan jaringan yang ada. "Kami tidak mungkin membuang aset jaringan existing, karena cost-nya sangat mahal. Yang ada saat ini HSPA+ tinggal di-update saja. Begitu seterusnya,” jelasnya.

Secara prinsip, kata Sarwoto, LTE sebenarnya sama dengan HSPA+ atau bahkan 3G. ”Bedanya cuma akses, lebih cepat. Sesungguhnya HSPA+ kan sudah sangat cepat. Jadi ini kita lakukan bertahap dengan persiapan matang, dan tak perlu terburu-buru,” kata dia.

Selain itu, lanjut Sarwoto, para penyedia konten (content provider) di Tanah Air harus pula bersiap. "Pipa sudah dibuka, silakan content provider berlomba mengisi. Kami menyediakan infrastruktur yang mudah dan murah bagi content provider. Anak-anak muda, para kreator bisa terfasilitasi, termasuk usaha kecil dan menengah," jelasnya.

Sarwoto yang juga ketua Asosiasi Telekomunikasi Seluler Indonesia (ATSI), mengatakan, teknologi LTE membutuhkan biaya investasi besar. Pengoperasiannya perlu dukungan pemerintah. "Infrastrukturnya luar biasa besar. Backbone harus disiapkan, ready IP, metro internet. Tidak semua operator siap menerapkannya,” ujar Sarwoto.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar