Senin, 09 Agustus 2010

Tiap Pelanggan BB Setor Rp 54-72 Ribu ke RIM

SETIAP bulan, tiap pelanggan BlackBerry di Indonesia menyetor sebesar US$ 6-8 atau sekitar Rp 54-72 ribu ke kantor pusat Research In Motion (RIM) di Kanada. Sementara itu, pemerintah Indonesia tak menerima uang sepeser pun dari layanan yang digelar perusahaan yang bermarkas di Kanada itu di Indonesia.

Inilah yang dipersoalkan Menkominfo Tifatul Sembiring ketika beberapa negara-negara di Timur Tengah menutup layanan BlackBerry di negaranya demi keamanan negaranya. Indonesia tak berpikir tentang keamanan negara, melainkan setoran Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) dari RIM.

“Kami minta vendor BlackBerry membuat server di Indonesia. Kalau tidak, Indonesia tidak bisa memperoleh PNBP. Selama ini mereka (RIM) hanya menggunakan orang (dan frekuensi) di Indonesia untuk meraup keuntungan saja,” kata Tifatul di Magelang, Jawa Tengah, akhir pekan lalu.

Operator telekomunikasi yang beroperasi di Indonesia wajib membayar kewajiban berupa biaya hak penggunaan (BHP) dan dana Unversal Service Obligation (USO). Hal ini sesuai dengan UU No 36/1999 tentang Telekomunikasi, Peraturan Pemerintah (PP) No 52/2000 tentang Penyelenggaraan Telekomunikasi, serta PP No 7/2009 tentang Jenis dan Tarif Atas Jenis PNBP yang Berlaku pada Depkominfo.

Sementara itu, Praktisi telekomunikasi dan anggota ID-BlackBerry Faizal Adiputra mengatakan, pelanggan BlackBerry di Indonesia menyetor ke RIM melalui operator telekomunikasi rata-rata sebesar US$ 6-8 per bulan, tergantung negosiasi operator dengan RIM. Itu berdasarkan pola pembayaran tetap per bulan per pelanggan. Namun, ada juga operator yang mendapat pola perjanjian revenue sharing (bagi hasil), yang besar setorannya sekitar US$ 3,5- 4,5 per pelanggan per bulan.

“Namun, untuk pola revenue sharing, RIM mewajibkan operator tersebut untuk memenuhi target-target, seperti jumlah pelanggan BlackBerry harus mencapai sekian dalam waktu sekian lama,” kata Faizal.

Selain biaya operasional yang harus dibayar operator ke RIM, lanjut Faizal, operator juga harus membayar jalur (bandwidth) sebesar US$ 5-8 ribu per bulan. “Jadi, menurut hitungan saya, rata-rata operator setor ke RIM sebesar US$ 6-8 per bulan per pelanggan,” kata dia.

Sedangkan mengenai keinginan pemerintah mewajibkan RIM membuat pusat data di Indonesia, menurut Faizal, seharusnya diwajibkan juga kepada perusahaan asing lain di bidang teknologi informasi, seperti Google, Yahoo, Apple, Microsoft dan Nokia. Dengan demikian, PNBP yang bisa diperoleh pemerintah bisa lebih besar lagi.

Bayar BHP dan USO

Awal 2010, Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI) pernah meramaikan masalah ini dan menuntut agar RIM juga membayar BHP dan USO. Operator telekomunikasi Indonesia sebagai penyedia layanan BlackBerry diminta memisahkan pendapatan kotor dari layanan BlackBerry dari total pendapatan kotor perusahaan telekomunikasi.

Pihak RIM pernah mengutus wakilnya, Senior Manager for Government Relation RIM Jason Saunderson, untuk bertemu dengan BRTI di Jakarta, pada 2 Februari 2010. Namun, pertemuan itu ternyata tak membuahkan hasil apa-apa, karena hingga kini RIM tidak juga dikenai BHP dan USO.

Kali ini Menkominfo Tifatul Sembiring menuntut RIM membuka pusat datanya di Jakarta agar pemerintah Indonesia bisa ‘memajaki’ RIM. Kemenkominfo telah mengirim surat kepada RIM, namun hingga kini belum ada respons dari RIM. “Kami akan komukasi terus. Ini sedang proses,” kata Tifatul.

Kehadiran server RIM di Jakarta, menurut dia penting. Selain untuk PNBP, juga untuk melakukan langkah deteksi melalui layanan BlackBerry bila ada tindak kejahatan. Keharusan membuat server di Indonesia juga berlaku bagi perbankan asing yang beroperasi di Indonesia. Ini sesuai dengan UU No 11/2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).

Belum Ada PP

Sementara itu, Kepala Pusat Informasi dan Humas Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) Gatot S Dewa Broto mengatakan, aturan mengenai keharusan membuat pusat data di Indonesia memang sudah tercantum dalam UU ITE, namun hingga kini belum ada Peraturan Pemerintah (PP)-nya.

“Saat ini, Rancangan PP penyelenggaraan ITE masih dalam tahap finalisasi,” kata Gatot. Oleh karena itu, Kemenkominfo dan BRTI hanya bisa menghimbau perusahaan asing, termasuk RIM, untuk mendirikan data center di Indonesia.

Gatot mengatakan, ada pasal yang menyebutkan kewajiban kepada setiap penyelenggara sistem elektronik untuk menempatkan pusat datanya di Indonesia. PP dari aturan ini menjadi semakin mendesak karena lalu lintas data pengguna layanan elektronik di Indonesia terus meningkat baik di sektor telekomunikasi maupun perbankan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar